rereeeee

Rafa lagi rebahan di kamar kostnya, kepalanya benar-benar pusing daritadi karena nangisin naren sambil denger lagu galau spotify terus ditambah fyp tiktok nya mendadak banyak quotes galau yang nyelekit hati. Gimana gak nangis mulu?

Pas lagi sesenggukan denger lagu, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk pelan dan suara hega terdengar dari luar. Mampus! rafa lupa kan kalau hega datang buat bawain dia soto ayam pesanannya sementara sekarang wajahnya terlihat jelas sembabnya. Bisa abis ditanya ini itu sama hega.

“b-bentar ya hega!” rafa sedikit berteriak, padahal suara seraknya jadi kentara banget di pendengaran hega.

Rafa pergi ke kamar mandinya buat cuci muka terus poninya yang lumayan panjang ia ke depankan supaya sembab matanya tersamarkan. Berjalan kecil ke arah pintu dan membuka pintunya, mempersilahkan hega buat masuk.

“lo nangis?” hega bertanya saat laki-laki itu duduk di kasur milik si mungil. Rafa cuman tertawa kecil lalu menggeleng sebagai jawaban.

“yaaaa tadi, soalnya gue pusing masih maksain nugas”

Hega mengernyitkan dahinya, agak curiga juga, pasalnya rafa ini bukan orang yang ambisius juga bukan orang yang bisa dibilang rajin. Hega itu sudah kenal baik tabiat mantan pacarnya ini.

“oh gitu” ucap hega seadanya sebagai jawaban. Laki-laki itu menatap lekat rafa yang sedang memakan soto ayam bawaannya. Pipinya jadi tembam kalau sedang makan dan pandangan itu menjadi salah satu favorit hega dulu— mungkin sampai sekarang, sih

“gue balik ya”

Rafa menoleh ke arah hega yang mulai beranjak dari duduknya, ia mengangguk kecil lalu tersenyum “hum, makasih ya hega” Hega cuman membalas senyumannya dan tangan kanannya jail mengusak rambut rafa pelan, lalu keluar dari kamar rafa. Sementara yang tadi diusak rambutnya cuman diem aja, harusnya yang berantakan itu rambutnya bukan hatinya. Astaga...

Saat rafa mengambil plastik yang tadi menjadi tempat soto ayamnya, ia mendadak terkejut ternyata ada satu barang lagi di dalamnya. Matanya membulat terkejut, di dalamnya ada obat demam yang biasa rafa pakai kalau sedang sakit.

ternyata, hega masih hafal baik tentangnya

Pandangannya tak lepas dari tubuh chenle yang terbaring di ranjang rumah sakit dengan infus terpasang ditangannya. Wajahnya damai, matanya terpejam dengan nafas yang beraturan. Jisung sedikit tersenyum kecil dan bernafas lega karena ia dan chenle masih punya kesempatan bertemu jiel.

Jisung taruh sekotak susu favorit chenle, beberapa potong buah segar dan makanan yang tadi ia sempat buat di rumah. Semua makanan itu adalah yang biasa ia buat untuk chenle atas saran dokter. Ia menghela nafas kecil dan melihat renjun yang duduk disamping ranjang chenle. Tangan besarnya ia bawa untuk mengusap kening chenle, menyingkirkan poni yang menutupi dahi omega itu.

“ren, kalau nanti dia bangun langsung suruh makan ya” ucap jisung dan dijawab anggukan oleh renjun

”... Bilang juga kalau makanan ini semua lo yang buat”

“ji, ya kali gue bilang gitu”

please, biar dia mau makan”

Renjun tidak merespon, ia memilih memijat pelan jari-jari chenle. Jisung anggap itu adalah jawaban iya, merapikan kembali baju kantor dengan jasnya jisung tersenyum ke arah renjun.

“Cepetan bangunnya ya, gue kangen” bisik jisung pada chenle, alpha itu memberi kecupan di kening omeganya sebelum akhirnya ijin pada renjun ingin berangkat kerja.


1 Tahun bukanlah hal yang sebentar hidup dengan seseorang. Saling berbagi, bercerita banyak hal, berdebat dan banyak hal lain yang dilakukan berdua. Maka tak heran beberapa hal yang sering dilakukan itu punya tempat tersendiri di ingatan. Tidak mudah dilupakan. Tidak mudah dihilangkan. Chenle hidup dengan jisung itu sudah bisa dibilang cukup lama, jadi tak salah omega itu tau sedikit engganya soal alphanya. Seperti contohnya, makanan yang sedang dimakannya dirumah sakit. Chenle hapal bagaimana rasa masakan alphanya karena hampir setiap pagi makanan itu tersaji di meja makan.

Tapi, renjun berbohong.

“ini... Siapa yang buat?” chenle menatap renjun curiga sambil mengaduk-aduk makanannya.

“gue lah, emang lo berharap siapa?”

Bohong. Padahal chenle tau kalau ini pasti buatan jisung, ia melihat kembali makanannya. Ternyata masih sama rasanya, masih ia hapal dengan baik padahal hampir sebulan lebih ia tidak menikmatinya. Air mata mampir tak diundang lagi, sesaknya datang lagi. Tangannya terus menerus mengusap air matanya agar tidak terus menerus jatuh membasahi pipinya, sambil melanjutkan makannya chenle terisak kecil. Ternyata tangisnya tak bisa dibendung.

Pernah sangat merindukan seseorang tapi mencoba untuk tidak peduli?

“ga berharap siapa-siapa” ucap chenle dan renjun hanya diam, mendadak bungkam.

Sungchan membanting pintu kamarnya keras apalagi saat di perjalanan pulang tadi ayahnya terus menerus mengoceh soal kesalahannya yang sebenarnya omega itu yang mulai memancing sisi alphanya. Ia sama sekali tidak sadar ternyata telah menyakiti chenle sampai begitunya.

Semua barang dijatuhkan berserakan sampai keadaan kamar berubah menjadi hancur bak kapal pecah. Sungchan benar-benar emosi saat ini. Mengapa takdir menulis nasibnya sebagai seorang alpha yang sangat mencintai seorang omega yang bahkan tidak mencintainya.

Ia yakin soal perasaannya tapi tidak yakin dengan takdirnya. Ah.. pusing!

Pintu kamarnya dibuka perlahan, menampilkan shotaro dengan nampan berisi segelas teh hangat. Laki-laki itu melihat keseluruhan kamar yang tadi pagi dibersihkannya dengan hati dan niat mendadak dihancurkan hanya dengan waktu 2 menit saja. Shotaro membanting nampan ditangannya pada sebuah meja disamping pintu tempatnya berdiri, berniat mengoceh panjang lebar tapi tidak jadi

Karena mendadak alpha itu memeluknya erat, terlalu erat sampai menyakitkan. Kalimat amarah yang awalnya tersimpan di kepala mendadak buyar semuanya. Otaknya mendadak hilang fungsi untuk berfikir. Ya, seperti inilah mengapa bisa beta itu menaruh perasaan pada alpha yang sedang menangis di bahunya. Hampir 20 tahun bersama ternyata cukup banyak hal juga shotaro tentang sungchan yang hidup dibawah kendali bundanya. Dimulai dari sekolah, pekerjaan sampai perjodohan tapi sangat disayangkang shotaro bahwa sungchan benar-benar semangat mengikuti perjodohan ini

Katanya sih, karena chenle itu cinta pertamanya

“bangsat bangsat!” sungchan berulang kali menggumamkan kalimat itu, sampai shotaro melepas paksa pelukannya. Menatap sungchan dengan alis tertekuk

“lo ngatain gue? Udah main peluk aja bukannya dikasi duit malah dikatain. Ada adab lo gitu?” shotaro hendak berjalan ke arah barang-barang yang sengaja dibuat berantakan oleh tuannya, namun mendadak tangannya dicengkram kuat dan dilempar ke kasur. Matanya membola menatap sungchan yang mengunci pintunya cepat.

“lo mau apain gue anjing?” shotaro menutup dadanya dengan kedua tangan, memperlihatkan wajah terkejut yang dibuat-buat. Sungchan hanya tertawa kecil sambil mendorong tubuh shotaro agar tertidur sementara dirinya lanjut memeluknya sambil tertidur disebelahnya.

“ga diapain, cuman mau peluk. Lo tidur lagi disini ya” ucap sungchan, suaranya teredam di bahunya. Memang sialan alpha yang satu ini. Memang kelakuannya yang seperti ini tidak menyebabkan serangan jantung mendadak, hah?

“ogah, minggir lo. Terakhir lo ngelakuin ini bunda lo marah ke gue—”

“itu kenapa gue kunci pintunya, taro taro”

SIALANNNNNN! ENYAH AJA LO PARK SUNGCHAN, begitu suara berisik hati shotaro.

“kenapa chenle ga bisa nerima gue ya? Lo tau ga alasannya kenapa... gue harus apalagi ya?” pertanyaan bertubi-tubi terus dilontarkan alpha itu. Wajahnya menatap shotaro yang melihat ke arah langit-langit kamarnya. Shotaro berdehem sebentar.

“lo ga capek apa? Lo harus tau kalau beberapa manusia hadir di hidup lo itu ga bisa semuanya selamanya menetap even entah lo yang bertemu duluan atau lo yang jatuh cinta duluan” ucap shotaro dengan membuat gestur seperti berfikir. Sungchan menatap lain sisi, ia mulai berfikir akan sesuatu.

”... Kalau takdirnya bukan ditulis nama lo ya gabisa dipaksa. Lo ga bisa ambil hak orang lain yang emang udah ditulis untuk dia. Itu jahat”

“lo ga pernah tau rasanya jatuh cinta tapi ternyata orang itu lagi perjuangin orang lain” kata sungchan, shotaro hanya menanggapinya dengan tawaan yang cukup kencang sampai membuat sungchan kebingungan sendiri.

pfft hahahahaha...”

“kenapa sih? Lo jangan ejek gue gitu dong”

“Udah tau ga diberi masih aja maksa buat diberi, gue kasian sama lo. Chenle itu bahagia cuman sama alphanya. Apa lo pernah liat dia ketawa lepas disini? Apa lo pernah liat dia cerita banyak hal sama lo?”

”... Disini dia cuman nangis dan tebak apa?”

Sungchan menatap shotaro dengan matanya yang berkaca-kaca. Shotaro nyaris tertawa lagi tapi sepertinya waktunya lagi tidak tepat karena sungchan harus sadar akan sesuatu.

“buket bunga yang setiap hari lo liat di tempat sampah, itu dari jisung buat chenle. Banyak kata rindu disana tapi chenle buang itu kayak ga peduli padahal dikamarnya nangis” shotaro tertawa makin kencang saat melihat hidung sungchan yang memerah karena menahan tangis.

“kenapa lo ketawa terus anjing?!”

Shotaro berhenti tertawa, ia sampai menangis karena tertawa terus menerus. Membalas pelukan sungchan pada tubuhnya sambil mengusap pelan rambut belakang alpha itu, “lo harusnya sadar kalau lo udah gak bisa ngambil omega yang udah punya alpha. Apalagi mereka udah saling cinta”

”... Dipikir lagi”

Dengan langkah cepat, sungchan masuk ke dalam rumahnya. Mengabaikan shotaro yang sedari tadi memanggilnya cukup keras. Wajahnya memerah, urat di lehernya mulai nampak, sungchan sedang menahan emosi saat ini dan shotaro tau akan terjadi hal yang buruk pada omega itu, ia memilih untuk menyusul sungchan, meninggalkan pekerjaannya di taman depan sementara agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.

Saat pintu besar itu terbuka, menampilkan chenle yang sedang duduk santai di ruang tamu. Omega itu menatap sungchan takut apalagi melihat aura hitam yang terasa disekililing alpha itu, feromonnya mencekik sisi omeganya, ia benci saat seorang alpha membuatnya tak berdaya seperti sekarang. Sungchan menarik lengan chenle kasar, tidak ada sepatah katapun terucap, ia hanya membawa omega itu cepat ke arah kamarnya padahal chenle sudah berusaha memberontak.

“lepasin gue!” ucap chenle yang berusaha melepaskan diri dari genggaman sungchan pada lengannya. Rasanya menyakitkan seperti ingin diremukkan.

BRAKK!

pintu kamar dibuka kasar oleh sungchan, chenle dilempar masuk ke dalam. Omega itu jatuh ke lantai namun sungchan tak mengindahkan, alpha itu hanya tersenyum sinis dengan mata alphanya yang kentara menunjukkan bahwa sisi dominan, egois dan amarahnya muncul apalagi saat melihat chenle meringis kesakitan memegang perutnya.

“sakit ya? sakit? Lo harus ngerasain sakit melebihi sakit hati gue” sungchan tertawa keras melihat chenle menahan sakitnya disana. Memegang bajunya erat menahan sakit yang luar biasa dari perutnya karena saat terjatuh malah bagian perut yang terkena lantai.

Omega itu memegang perutnya erat, semakin erat dan beralih menjadi cengkraman erat pada kaosnya. Chenle tidak bohong kalau saat ini ia sedang kesakitan, tapi tawa sungchan malah semakin keras tanpa niat membantunya sampai langkah kaki seseorang terlihat cepat menuju kamarnya dan tamparan keras terdengar disana.

Tamparan seorang pria paruh baya itu sangat keras di belakangnya, pendengarannya menangkap suara ayah sungchan yang berteriak lantang.

“kembalikan bahagia anak saya kalau kamu ga becus jaga dia!” ucap ayah sungchan yang bertanda tanya besar di kepalanya.

Anak siapa yang dimaksud?

Setelahnya chenle tidak mendengar apapun karena kesadarannya mendadak direnggut, bayangan yang terakhir dilihat adalah shotaro yang berwajah panik berusaha mengangkatnya dan sekilas sosok jisung terlintas di pikirannya lalu setelahnya hitam yang dilihatnya.

Jiel, bertahan ya...


Jisung baru sampai di rumahnya, kini suasana tampak sepi dan gelap. Mungkin karena abangnya dan renjun sudah pergi dari beberapa minggu yang lalu. Hari ini kerjaannya semakin banyak bahkan makan siang sampai ia lupakan, kalau ada chenle pasti sudah diamuk abis-abisan.

Ia mendudukkan dirinya di sofa ruang tamu. Menghela nafas berkali-kali untuk sejenak merasakam nafas, hari ini melelahkan tapi tidak seorang pun bisa dijadikan pelipur lara.

Drrtt... drrt

Ponsel di sakunya berbunyi, menampakkan nama seseorang yang sebulan penuh ia kenal sekaligus membantunya. Tanpa pikir panjang segera ia angkat telepon itu.

“halo—”

Jisung membulatkan matanya penuh kesal, ia remat ponselnya dan langsung mengambil kunci motornya. Tidak peduli soal pakaian kantor yang masih ia kenakan, juga tidak peduli dengan telepon seorang dokter yang ia matikan sepihak tanpa ingin mendengar penjelasan lebih.

Pikirannya hanya tertuju pada satu titik saat ini; Chenle juga bayinya.

Setiap harinya menjadi hari yang menyebalkan bagi chenle. Entah karena shotaro atau bahkan sungchan atau soal perasaan rindunya. Hari ini tepat 1 bulan dirinya tanpa kehadiran alphanya, tanpa kabar, tanpa ingin tau soal kabar alphanya itu. Mengandalkan renjun sebagai kotak surat kabar jisung walaupun ia selalu menolak untuk ingin tau tapi nyatanya renjun lebih tau tentang dirinya yang setiap hari ingin selalu tau soal jisung.

Ia rindu apapun tentang alpha brengsek itu, chenle sudah berusaha keras untuk mengalihkan pikirannya yang pada kenyatannya hanya menyakitinya. Bersama jisung bukanlah waktu yang sebentar untuk bisa dilupakan dalam kedipan mata saja.

Dirumah ini ia merasa asing, tidak ada kenyamanan walau ia tau kalau sungchan tulus soal perasaannya. Kadang chenle bertanya soal kenapa yang tidak menghargainya malah menjadi tempat perasaannya berlabuh?

Lalu setelahnya ia akan menjawab pertanyaan itu sendiri. Alpha itu tidak sempurna dan itu membuatnya jatuh cinta.


Malam harinya selalu menjadi sunyi. Chenle tengah berdiam diri di ruang tamu, dengan lagu yang tersetel di handphonenya. Lagu dengan judul Love in the dark dari adele. Akhir-akhir ini lagu itu menjadi soundtrack kisah patah hatinya.

Pandangan yang tadi kosong kini terlihat shotaro yang sedang bolak-balik di depannya sambil mendengus. Chenle mengernyitkan alisnya bingung, sampai ide jail terlintas di kepalanya. Ia keraskan volume handphonenya sampai lagu galau andalannya menggema di seluruh ruangan membuat pandangan shotaro menoleh ke arahnya, menghampirinya lalu berdiri sambil berkacak pinggang di depannya.

“kecilin!” ucap ketus shotaro

Chenle tertawa geli sambil menggeleng kecil dengan artian menolak menurut, “lagu ini harusnya buat lo juga”

“hah?”

“lo suka kan sama sungchan? Calon tunangan gue” tawaan renyah terdengar dari chenle, entah menghinanya karena perasaannya atau karena nasibnya. Wajah shotaro memerah keseluruhan, ia segera pergi dari sana. Membawa malu yang ternyata diketahui chenle.

“jadi alasan lo judes ke gue gara-gara cemburu?”

Tidak ada jawaban dari shotaro, laki-laki beta itu meneruskan pekerjaannya membersihkan lantai di ruang makan. Tidak ada suara lagi dari chenle, hanya lagu galau itu mulai memenuhi isi kepalanya. Ia juga sering menertawakan perasaannya yang bodoh apalagi karena nasibnya. Harusnya perasaannya mati saja dari lama mengingat sudah tidak ada kesempatan apalagi buat diperjuangkan, kan?

Seseorang menarik kursi meja makan dan tersenyum ke arahnya. Itu chenle, omega itu cekikikan kecil sambil mengusap perutnya apalagi melihat wajah shotaro yang memerah, entah karena kesal atau malu. Chenle pernah merasakan hal seperti ini, bedanya itu shotaro karena nasib maka perasaannya harus dipaksa mati kalau dirinya karena waktu yang terlalu cepat dan ternyata perasaannya sia-sia untuk orang yang bahkan menyesal bertemu dengannya. Ya, sebelas duabelas lah perihal patah hatinya dengan shotaro.

“kita harusnya temenan ga sih ketimbang jadi rival? Karena gue ga bakalan jadi rival lo soal rebutan sungchan” ucap chenle, ia mendengus sebal tanpa sadar kalau shotaro mendengarnya.

”... Asal lo tau, gue sama sekali ga cinta sama dia walaupun gue calon tunangannya” bisik chenle. Shotaro terdiam dengan sapu ditangannya yang ia remat kuat-kuat agar sesaknya hilang sampai suara chenle menginterupsi lamunannya

“gue cuman jatuh cinta sama satu orang. Satu orang yang selalu bilang kalau dia nyesel ketemu gue” lanjut chenle, tatapannya menyendu membuat shotaro menjadi iba padahal kisahnya sendiri tak kalah penuh duka juga.

“see? Kita punya patah hati yang sama cuman beda cerita”

Sudah 1 bulan lebih chenle benar-benar pergi dari rumahnya dan sama sekali tak berkabar, hanya mengandalkan renjun sebagai penghantar kabarnya untuk chenle dan renjun selalu membalasnya dengan “chenle baik-baik saja”, walaupun sebenarnya hatinya merasa hal yang janggal dari kalimat itu.

1 bulan berlalu begitu cepat, hidupnya tetap berjalan seperti biasa hanya saja tanpa kehadiran omeganya yang biasanya meramaikan rumahnya. Setiap malam rasa bersalah dan luka itu kembali, setiap pagi suasananya sepi, dan setiap ia pulang dari kantor pun rumah terasa benar-benar sunyi tanpa penghuni. Perpisahan tetaplah perpisahan tapi hidup harus tetap berjalan.

Perlahan jisung menata kembali hidupnya yang berantakan agar suatu hari nanti— entah kapan— ia bisa menyambut chenle kembali, lebih baik, lebih siap dari dirinya yang sebelumnya. Renjun pernah mengatakan tentang “Rapiin rumah lo sebelum menerima orang baru, supaya mereka nyaman juga supaya betah menetap” perumpaan soal dirinya yang harus bisa damai dengan semua rasa sakit sebelum ingin membahagiakan orang lain.

Jisung lebih sering pergi ke makam bundanya setiap pulang kerja. Entah sekedar membersihkannya, menabur bunga, memberi buket bunga mawar putih dan sekedar berbagi cerita kembali. Topiknya lebih banyak soal omeganya, sih. Abisnya satu bulan bukan waktu yang sebentar untuk tidak merindu setiap harinya.

Seperti sekarang, jisung dengan pakaian kantornya membawa buket mawar putih di genggamannya lalu menghampiri makam bundanya. Ia duduk disampingnya lalu menaruh buket itu tepat disamping bundanya, tersenyum kecil ke arah nisan bundanya.

“sore bunda, apa kabar? Semoga selalu baik diatas sana ya bun... Ya seperti biasa, jisung lagi jam-jam kangen chenle” ucap jisung sambil mengusap pelan nisan budanya, senyumnya tak luntur. Ia tak ingin menangis lagi karena ia tau kalau bundanya pasti sudah bahagia disana, jisung juga ingin berbahagia.

”... Bunda, bilangin ke dia ya bun biar cepet pulang”

“kan rumahnya chenle itu jisung, bun”

Jisung menaruh kasar handphonenya di nakas samping kasurnya, Berkali-kali mengusap wajahnya yang gusar. Hari ini entah kenapa masalah datang terus menerus tanpa diundang. Alpha itu menghela nafas berkali-kali tapi tetap saja rasanya masih sama sesaknya, perpisahan kemarin sama sekali tidak bisa lepas dari ingatannya barang semenit saja.

Ya, siapa juga yang bisa melupakan sebuah perpisahan secepat itu?

Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka, kepala jaemin terlihat disana. Ia tak mengindahkan, memilih membelakangi jaemin ketimbang menyambutnya. Ia terlalu malas berdebat soal chenle yang pergi kemarin, ia sedang tidak dalam kondisi yang baik untuk disalahkan. Jaemin selalu terlihat membela chenle hanya karena alpha itu takut kalau jisung sama sialannya seperti ayahnya walaupun ia juga tau soal jisung yang membenci ayahnya.

“makan lo?”

“nanti aja, belum laper”

Jaemin terdiam, jisung juga enggan menoleh. Sampai tubuh abangnya itu duduk di pinggiran kasurnya. Menepuk pelan bahunya yang lelah memikul banyak beban selama bertahun-tahun. Jaemin tau soal luka dan derita adiknya ini, hanya saja jisung jarang ingin memperlihatkan sisi lemahnya.

“lo udah mau jadi papa masih aja kelakuannya kayak bocah” ucap jaemin dengan tawaan kecil, ia terus menerus menepuk bahu jisung.

”... Trauma lo masih ya ji?”

Jisung masih enggan menoleh apalagi menjawab. Topik pembicaraannya terlalu mencekiknya dalam rasa sakit dan sesak lagi.

“hidup ga adil ya buat lo ji? Kasian adek gue ini, capek ya? Istirahat dulu ya jagoan tapi harus makan dulu” ucap jaemin. Nada alpha itu memelan. Ditambah usapan lembut dari tangan besarnya, jisung seperti balik ke masa-masa kecilnya yang selalu berlindung di tubuh besar jaemin tapi sekarang bahkan tubuhnya lebih besar dari jaemin.

Waktu menjadi dewasa itu cepat, ya?

“apaan sih? Lo kayak giniin bocah” jisung akhirnya menjawab, nadnaya serak khas orang menangis.

“ya bodoamat, mau lo nanti punya anak lo tetap jadi adek kecil gue”

Suasana menghangat saat tawa kecil datang dari jisung. Alpha itu bangun dari tidurnya lalu menoleh ke arah jaemin, ia tersenyum kecil sebelum mengusap air matanya yang jatuh berkali-kali. Jisung rindu semua hal yang ia lewatkan begitu saja tanpa bersyukur hal itu hadir dalam hidupnya.

“lo tau bang, terkadang... Trauma seseorang bisa membunuh orang itu sendiri”

”... Gue buat semua hal jadi kacau dan rumit untuk melindungi diri. Apa gue terlalu egois?” ucap jisung pelan lalu meninggalkan jaemin yang masih duduk dalam diam saat mendengar kata-kata itu keluar dari mulut adik kesayangannya.

Hal-hal menyakitkan apa yang dilalui jisung selama ini?

Seperti apa yang diminta jisung, renjun duduk di samping alpha itu sambil menunggu suara seseorang dari teleponnya. Bunyi dering ponsel terus menerus terdengar, jisung terus menerus melihat ponsel itu— takut kalau ternyata chenle tidak mengangkat telepon dari renjun.

“kok gak diangkat ya jun?”

“sabar... “

Setelah beberapa lama berdering akhirnya suara chenle menyapa dari telepon itu. Chenle dengan suara serak khas menangis. Omega itu menyapa renjun, berusaha tampak biasa saja walaupun kenyataannya tidak begitu.

“haloo injun”

“halo le... ” renjun mengintip ke arah jisung yang sedang tiduran disampingnya, dari penghilatannya manik alpha itu tengah menyimpan air mata yang bisa saja jatuh dengan sekali kedipan.

“kenapa? Kok diem sih”

“oh.. maaf, le lo disana baik-baik aja kan? Gue kesana ya”

Ada jeda beberapa saat, sebelum akhirnya chenle berbicara lagi “iya baik, baik banget malah. Lebih baik dari gue disana. Jangan kesini jun, sungchan belum bolehin”

Renjun memejamkan matanya, padahal tadi siapa yang mengeluh ini itu padanya. Chenle pasti tau kalau jisung sedang bersamanya. Beta itu mengintip jisung lagi, alpha itu menangis lagi dengan tangan yang berusaha meredam isaknya.

“he treats you better?”

“yaa, sure, 'cus he loves me”

“chenle...”

“apaan? Buruan deh, gue mau istirahat, capek banget”

“cepet balik ya, lo ga bisa gini terus—”

“gue tutup ya teleponnya”

Dan chenle menutupnya sepihak begitu saja, sebenarnya renjun ingin marah karena sikap chenle yang begitu tapi sepertinya bukan waktu yang tepat. Ia bawa tangannya mengusap pucuk kepala jisung, menenangkannya walaupun ternyata tangisnya malah makin mengencang. Baru pertama kali dalam hidupnya, renjun lihat seorang alpha yang hancur, sisi alpha yang sebenarnya rapuh. Benar juga, alpha walaupun diciptakan dengan banyak kekuatan ternyata juga manusia biasa.

“jisung, sekarang lo istirahat”

Jisung tidak banyak membantah, ia balikkan tubuhnya membelakangi renjun. Alpha itu sedang patah hati padahal baru merasakan bahagia lagi. Ya, seperti biasa. Semesta selalu merenggut bahagianya padahal baru ia rasa.

“rasanya gue ga berhak bahagia ya?” gumam jisung dalam tidurnya. Bohong, kalau renjun tidak dengar tapi ia enggan menanggapi jadi ia memilih keluar kamar jisung. Sakitnya, patahnya dan hancurnya seakan bisa renjun rasakan semuanya.

Jam menunjukkan pukul 3 pagi dan jisung baru saja terlelap dalam tidurnya setelah dipaksa minum satu gelas susu hangat dari renjun. Lihat siapa yang tadi menolak susu hangat tapi sekarang malah tertidur dengan dengkuran kecil di dekapan renjun.

Jeno dan jaemin yang duduk disebelah renjun menatap suami kecilnya itu sambil tertawa kecil sampai renjun sontak menoleh ke arah mereka karena tersadar menjadi bahan tawaan.

“apa lo?!” ketus renjun.

“udah nikah masih aja sarkas” ucap jeno dengan tampang dibuat takut, renjun hanya mencibir saja.

“jen, lihat siapa yang udah siap punya bayi” jaemin menyikut jeno lalu menunjuk-nunjuk ke arah renjun yang sedang menepuk kecil kepala belakang jisung agar tidurnya makin nyenyak, tapi malah menjadi bahan ejekan.

Dengan wajah memerah, renjun menghampiri jaemin lalu memukul bahunya agak keras, “gue gak!”

“iya itu kamu”

“gak tuh!”

“sstt nanti bayi jisung bangun, sayang”

“ih, lo bisa diem gak jen? Jangan bela dia”

Jaemin tertawa agak keras, memang hobinya dari dulu suka menjahili renjun karena lihat sekarang wajah yang memerah dan juga alis yang tertekuk. Gemassssssss

“kalau kamu mau ya kita bisa buat baby sekarang sayang” kini jaemin berucap lalu mengundang gelak tawa dari jeno dan renjun dibuat memanas dengan perkataan itu.

“diem jaemin! Gue ga bakalan tidur sama kalian, gue tidur disini”

“yah jaem, apa gini rasanya punya anak nanti?”

“jenooooo!!!”


Sungchan melihat chenle yang akhirnya tertidur lelap. Jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi dan chenle baru saja bisa tertidur di kamar tamu ini. Omega itu belum terbiasa dengan feromon alpha lain jadi daritadi alasannya tidak bisa tidur adalah bolak-balik kamar mandi karena mual tidak bisa mencium aroma feromonnya.

Sungchan menghela nafas kecil. Apa selanjutnya?

Omega incarannya sudah berada dalam genggamannya tapi rasanya masih ada yang kurang. Apa caranya begini sudah benar? Bukannya semua orang menginginkan perpisahan dua pasangan itu, maka sungchan kabulkan. Tapi, entah kenapa rasanya ada yang salah?

“apa gue beneran jadi orang jahat ya?”

”... Apa cinta gue salah? Kenapa yang sungguhan cinta selalu berakhir sia-sia ya?”

Jisung terburu-buru keluar dari mobilnya saat kendaraan beroda empat itu terparkir rapi di bagasi rumahnya. Sempat-sempatnya berkaca agar tidak terlalu berantakan walaupun memang sudah tidak bisa lagi dibuat rapi, membersihkan sisa tanah yang menempel di kemejanya lalu masuk ke dalam rumah.

Suasana rumah tampak sepi, tidak ada satupun orang dan perasaan jisung mulai tidak enak. Hendak memanggil chenle ternyata omega itu sudah menunjukkan dirinya dengan satu koper ia bawa di tangan kanannya. Omega itu menuruni tangga satu persatu tanpa menyadari bahwa alphanya menatapnya khawatir

“lo mau kemana?” satu pertanyaan itu terlintas di pendengarannya, chenle menoleh dan mendapati wajah jisung yang menatapnya cemas tapi wajah chenle tak kalah lemas. Lelah menangis sedari tadi tapi ternyata pilihannya cuman satu; Pergi.

“lo ga perlu tau” chenle melanjutkan langkahnya, tapi tangannya dicegat, digenggam erat.

“gue alpha lo, gue harus tau lo kemana. Lo mau kemana?” pertanyaan itu sekali lagi dilontarkan jisung. Chenle menatapnya bengis, benci, sakit hati. Matanya memerah karena tangis.

“gue bilang lo ga perlu tau”

“gue perlu tau karena lo tanggung jawab gue”

“gue ga butuh tanggung jawab lo, gue bisa urus hidup gue sendiri. Minggir!” chenle mencoba menepis jisung yang berusaha menghadang tubuhnya namun ternyata tubuh jisung lebih besar daripada dirinya dan alpha itu sama sekali tidak memberi celah untuknya pergi.

“gue gak akan minggir sebelum lo kasik tau lo mau kemana anjing? Sesusah itu kah?”

“iya susah! Sesusah lo yang ga ngabarin gue seharian dan batalin perjanjian ini bangsat”

Chenle mengacak rambutnya sendiri, kebiasaan, kalau sudah frustasi dan menahan emosi ia selalu melampiaskannya ke diri sendiri dan jisung selalu membuatnya berhenti melakukan itu. Sampai sekarang. Jisung menarik kencang tangan chenle untuk membuatnya berhenti menyakiti dirinya sendiri.

“tenang le, tenang. Oke gue jelasin semuanya, gue jelasin” jisung merogoh sakunya, ia mengambil ponselnya yang sudah hancur untuk ditunjukkan pada chenle. “ini liat, gue mau ngabarin lo tapi tiba-tiba ada mobil entah darimana hampir nabrak gue tapi untungnya cuman hp gue yang kelindes” ucapnya, sontak mata omega itu ia bawa untuk melihat luka yang diperban tepat di dahi jisung.

“lo bisa liat sendiri lukanya, kan? Gue sama sekali gak bermaksud buat batalin pertemuan tadi tapi emang—” belum habis penjelasan jisung, seseorang mendadak membuka pintu rumah mereka. Keduanya menoleh ke arah pintu dan sosok sungchan berdiri disana, menatap mereka berdua dengan terkejut terutama saat melihat jisung yang mata alphanya keluar dengan begitu gelapnya, menunjukkan emosi yang membara.

Tanpa melanjutkan penjelasan itu, dikerubungi kabut amarah, jisung bawa langkah besarnya ke arah sungchan dan memukulnya tepat di wajah hingga tubuh alpha itu tersungkur ke lantai begitu saja. Belum habis emosinya, pukulan bertubi-tubi ia luncurkan ke wajah sungchan tanpa ampun— namun, anehnya wajah brengsek itu masih bisa tersenyum sinis

“LO BANGSAT, KELUARGA LO EMANG BRENGSEK!” jisung berteriak kencang, mengundang jaemin dan jeno yang sedari tadi diam cukup jauh dari rumah jisung, merka berlari dan melerai perkelahian itu. Chenle juga tidak tinggal diam, ia mencoba melerai tapi renjun melarangnya— takut, kalau chenle bisa kena imbas melihat jisung yang sedang kalap. Kekuatan alpha itu bukan main-main.

“sabar anjing, lo kenapa? Tahan emosi lo tahan” kata jaemin mencoba memegang erat lengan jisung walaupun empunya mencoba melepaskan diri, tapi beruntung kedua abangnya bisa menahannya.

Nafas jisung masih terburu, pandangannya juga masih menajam walaupun bisa dilihat wajah sungchan jauh dari kata baik-baik saja. Alpha itu menarik pelan tangan chenle dari renjun sambil mengusap pelan luka diujung bibirnya.

“kalau lo tanya kenapa gue kesini ya jemput calon tunangan gue”

Satu kalimat yang sontak membuat jisung membulatkan matanya terkejut. Tubuhnya melemas, juga hatinya berdenyut tak karuan. Calon tunangan?

“chenle, lo apa-apaan? Bercanda ya? Ga lucu anjing” tanyanya pada omeganya yang juga sedang menatapnya dengan manik sendu. Mata indah itu mendadak ingin bungkam.

“gue nyerah”

“apa? Nyerah apa le? Lo jangan—”

“gue capek, gue nyerah, gue berhenti. Bener kata orang, kita emang bukan takdir ji, kekacauan ini semua dari kita dan kita ga perlu bikin kekacauan ini lebih lama lagi”

Mendengar penuturan chenle, semua orang mendadak terdiam. Ya, semua orang juga tau soal perasaan chenle yang sama sekali tidak ada balasannya. Bahkan mereka semua yang menyuruh pasangan mate ini biar berpisah saja tapi saat hari ini benar-benar terjadi, perasaan tidak rela mulai melingkupi. Terutama si tersangka utama— park jisung.

Kenapa tiba-tiba?

“gak! Lo gak bisa pergi gitu aja, lo lupa? Gue ini alpha lo—”

Sungchan maju selangkah di depan chenle, ia tutup tubuh yang lebih kecil itu dibelakangnya untuk bersitatap dengan jisung lebih dekat, “do you love him?”

“bacot! Gara-gara lo anjing, ini semua gara-gara lo. Le, lo harus percaya kalau pertemuan tadi dia yang—”

“gue tanya, do you love him?

“MINGGIR! LE, dengerin gue lo ga bisa pergi sama dia, orang ini brengsek”

Chenle enggan menoleh tapi ia memilih bersuara, bertanya sekali lagi, “then, give me a reason to stay. Do you love me?”

Jisung diam. Tidak ada sepatah kata pun keluar namun nafasnya seakan direnggut sampai tersendat apalagi saat chenle terdengar menghela nafas berat dan suara koper diseret keluar terdengar. Tiada pamit omeganya pergi dengan perasaan pahit

Lengan jisung dilepas dan tubuhnya mendadak ambruk ke lantai, lemas sekali, pandangannya kosong sekaligus berkaca-kaca. Bodohnya sampai hari ini disaat cintanya sudah tumbuh ia malah tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan sekedar mengejar chenle untuk menjawab pertanyaannya.

Traumanya membunuhnya.

“lo beneran ga bisa cinta ya sama chenle?” renjun bertanya, nadanya juga lelah.

Jisung diam. Ia enggan menjawab pertanyaan renjun. Alpha itu juga bingung harus dijawab bagaimana, ia terlalu takut

“harusnya emang dari awal chenle bukan sama lo ya ji” renjun juga menghela nafas berat, ia sudah menebak isi kepala jisung.

Semua orang bilang ia tak pantas padahal sebenarnya ia sudah berusaha keras tapi memang tak semua mengerti caranya

“iya gue emang brengsek, harusnya emang dia sama yang lain bukan gue” ucap jisung sebelum akhirnya ia berjalan menuju kamarnya dan menguncinya. Ia ingin merayakan kehilangannya lagi dan lagi

Selesai?