7 Bulan bareng jiel, 1 bulan tanpa chenle
Sudah 1 bulan lebih chenle benar-benar pergi dari rumahnya dan sama sekali tak berkabar, hanya mengandalkan renjun sebagai penghantar kabarnya untuk chenle dan renjun selalu membalasnya dengan “chenle baik-baik saja”, walaupun sebenarnya hatinya merasa hal yang janggal dari kalimat itu.
1 bulan berlalu begitu cepat, hidupnya tetap berjalan seperti biasa hanya saja tanpa kehadiran omeganya yang biasanya meramaikan rumahnya. Setiap malam rasa bersalah dan luka itu kembali, setiap pagi suasananya sepi, dan setiap ia pulang dari kantor pun rumah terasa benar-benar sunyi tanpa penghuni. Perpisahan tetaplah perpisahan tapi hidup harus tetap berjalan.
Perlahan jisung menata kembali hidupnya yang berantakan agar suatu hari nanti— entah kapan— ia bisa menyambut chenle kembali, lebih baik, lebih siap dari dirinya yang sebelumnya. Renjun pernah mengatakan tentang “Rapiin rumah lo sebelum menerima orang baru, supaya mereka nyaman juga supaya betah menetap” perumpaan soal dirinya yang harus bisa damai dengan semua rasa sakit sebelum ingin membahagiakan orang lain.
Jisung lebih sering pergi ke makam bundanya setiap pulang kerja. Entah sekedar membersihkannya, menabur bunga, memberi buket bunga mawar putih dan sekedar berbagi cerita kembali. Topiknya lebih banyak soal omeganya, sih. Abisnya satu bulan bukan waktu yang sebentar untuk tidak merindu setiap harinya.
Seperti sekarang, jisung dengan pakaian kantornya membawa buket mawar putih di genggamannya lalu menghampiri makam bundanya. Ia duduk disampingnya lalu menaruh buket itu tepat disamping bundanya, tersenyum kecil ke arah nisan bundanya.
“sore bunda, apa kabar? Semoga selalu baik diatas sana ya bun... Ya seperti biasa, jisung lagi jam-jam kangen chenle” ucap jisung sambil mengusap pelan nisan budanya, senyumnya tak luntur. Ia tak ingin menangis lagi karena ia tau kalau bundanya pasti sudah bahagia disana, jisung juga ingin berbahagia.
”... Bunda, bilangin ke dia ya bun biar cepet pulang”
“kan rumahnya chenle itu jisung, bun”