Seperti apa yang diminta jisung, renjun duduk di samping alpha itu sambil menunggu suara seseorang dari teleponnya. Bunyi dering ponsel terus menerus terdengar, jisung terus menerus melihat ponsel itu— takut kalau ternyata chenle tidak mengangkat telepon dari renjun.
“kok gak diangkat ya jun?”
“sabar... “
Setelah beberapa lama berdering akhirnya suara chenle menyapa dari telepon itu. Chenle dengan suara serak khas menangis. Omega itu menyapa renjun, berusaha tampak biasa saja walaupun kenyataannya tidak begitu.
“haloo injun”
“halo le... ” renjun mengintip ke arah jisung yang sedang tiduran disampingnya, dari penghilatannya manik alpha itu tengah menyimpan air mata yang bisa saja jatuh dengan sekali kedipan.
“kenapa? Kok diem sih”
“oh.. maaf, le lo disana baik-baik aja kan? Gue kesana ya”
Ada jeda beberapa saat, sebelum akhirnya chenle berbicara lagi “iya baik, baik banget malah. Lebih baik dari gue disana. Jangan kesini jun, sungchan belum bolehin”
Renjun memejamkan matanya, padahal tadi siapa yang mengeluh ini itu padanya. Chenle pasti tau kalau jisung sedang bersamanya. Beta itu mengintip jisung lagi, alpha itu menangis lagi dengan tangan yang berusaha meredam isaknya.
“he treats you better?”
“yaa, sure, 'cus he loves me”
“chenle...”
“apaan? Buruan deh, gue mau istirahat, capek banget”
“cepet balik ya, lo ga bisa gini terus—”
“gue tutup ya teleponnya”
Dan chenle menutupnya sepihak begitu saja, sebenarnya renjun ingin marah karena sikap chenle yang begitu tapi sepertinya bukan waktu yang tepat. Ia bawa tangannya mengusap pucuk kepala jisung, menenangkannya walaupun ternyata tangisnya malah makin mengencang. Baru pertama kali dalam hidupnya, renjun lihat seorang alpha yang hancur, sisi alpha yang sebenarnya rapuh. Benar juga, alpha walaupun diciptakan dengan banyak kekuatan ternyata juga manusia biasa.
“jisung, sekarang lo istirahat”
Jisung tidak banyak membantah, ia balikkan tubuhnya membelakangi renjun. Alpha itu sedang patah hati padahal baru merasakan bahagia lagi. Ya, seperti biasa. Semesta selalu merenggut bahagianya padahal baru ia rasa.
“rasanya gue ga berhak bahagia ya?” gumam jisung dalam tidurnya. Bohong, kalau renjun tidak dengar tapi ia enggan menanggapi jadi ia memilih keluar kamar jisung. Sakitnya, patahnya dan hancurnya seakan bisa renjun rasakan semuanya.