rereeeee

Chenle menarik tas mamahnya. Tas dengan gantungan kunci bergambar lumba-lumba hadiah pemberiannya saat ia masih kecil, chenle ingat sekali, ia memberikannya atas dasar menyayangi mamahnya yang pengertian.

Tapi untuk pertama kalinya, chenle harus bermohon dan menangis meminta mamanya untuk mengerti, untuk menunggu beberapa jam lagi.

“1 jam lagi ya mah... tunggu, jisung pasti dateng”

Mamahnya melepaskan pegangan tangan chenle lalu memilih mengenggam tangannya erat dan gelengan dengan tatapan kecewa tergambar disana, “mau berapa lama lagi? Mamah dari siang sampai hampir malam menunggu tapi alphamu sama sekali ga ada itikat baiknya” ucap wanita paruh baya itu.

Chenle tertegun, ia berkali-kali menghapus air matanya. Lalu mencoba kesempatan kali ini menelpon jisung lagi, waaupun hasilnya sama seperti 50 panggilan tak terjawab sebelumnya.

“lihat? Apa yang kamu harapkan dari dia?”

“aku ga mau dijodohin... Aku ga mau! Mamah denger? Setidaknya kalau ga sama jisung aku ga bakalan sama siapapun!” chenle menggelengkan kepalanya kencang dengan tangisnya yang mengencang

PLAK!

tamparan itu melayang tepat di pipi kanan chenle, wajah itu sontak memerah. Mamah melihatnya dengan nafas terburu, wanita paruh baya itu menangkup kedua pipi chenle lalu mengusapnya lembut. Rasa sesal karena menampar anaknya mulai melingkupi dirinya.

“sayang dengar mamah, kamu ga akan bisa sendiri—”

“bisa! Aku bisa urus diriku sendiri, kalaupun harus berdua aku maunya cuman sama alphaku, SAMA JISUNG!”

“DIA GA CINTA SAMA KAMU! dia hancurin kamu chenle, kenapa kamu ga mau buka mata?” Mamah berteriak dengan air mata yang terus menerus jatuh ke pipinya, ia cengkram kuat-kuat bahu anaknya. Memohon agar chenle mengerti bahwa jisung bukanlah pilihan yang tepat untuk hidupnya.

Chenle menutup mulutnya agar isakan tangisnya teredam, kata-kata mamahnya sangat membuat hatinya sakit ditambah lagi nyeri dalam perutnya.

dia ga cinta sama kamu!

Ucapan mamahnya benar. Harusnya chenle sadar diri mengetahui fakta itu. Bertahun-tahun omega itu mencoba berkali-kali juga akan gagal, seseorang tidak bisa dibuat jatuh cinta secepat itu kalau memang ia tidak ingin dari awal.

Jadi selama ini apa? Chenle hanya membuang waktunya percuma.

“sungchan bakalan jemput kamu, lebih baik kamu sama dia. Mamah mau balik, mamah percaya sungchan bisa jaga kamu sampai kamu melahirkan”

”... dan pernikahan kalian akan segera dilangsungkan” ucap si mamah lalu pergi meninggalkannya sendiri. Pada akhirnya omega tidak punya pilihan selain menerima.


Malam semakin mencekiknya dengan perasaan bersalah pada anaknya. Air mata berkali-kali menutupi pandangannya. Telinganya mendadak tidak mendengar apapun termasuk bunyi bel mobil dari sampingnya.

TIN TIN!!

Wanita paruh baya itu menoleh, nyaris truk besar disampingnya menabraknya kalau saja seseorang tidak menariknya kencang ke trotoar kembali. Jantungnya sejenak terhenti. Ia nyaris mati. Ia menoleh ke arah seseorang yang menariknya barusan.

Laki-laki itu memejamkan matanya, nafasnya tak kalah memburu darinya. Seorang alpha yang dari mencium feromonnya saja wanita paruh baya itu mengetahuinya.

“tante gapapa?” ucapnya, raut wajahnya khawatir.

“gapapa, kamu...” wanita paruh baya itu mengusap dahi laki-laki alpha itu, terdapat bercak darah yang banyak disana. “berdarah?”

“bukan salah tante kok, ini tadi salah saya”

Wanita itu menarik tangan alpha itu agar terduduk di kursi dekat trotoar, ia mengeluarkan kotak obat yang ia bawa di tas kecilnya. Mengambil obat merah dan juga plester.

“kamu kenapa nak?”

“terimakasih tante” alpha itu tersenyum senang, terlihat dari matanya yang menyipit karena senyuman, “saya tadi hampir ditabrak mobil tapi beruntung bisa ngehindar”

“yaampun, hati-hati nak....” wanita itu mengusap surai berantakan jisung dan alpha itu tersenyum kecil lalu menatap wajah wanita paruh baya itu yang nampak khawatir

“loh lumba-lumba, tante suka juga ya?” jisung melihat gantungan kunci yang tergantung apik di tas miliknya. Lumba-lumba adalah salah satu hewan favorite chenle jadi setiap ia bertemu apapun dengan gambar hewan itu maka yang terlintas dipikirannya adalah chenle.

“ini anak tante yang berikan—”

“omega saya suka banget sama hewan ini, udah jadi ciri khasnya dia banget” jisung memandang terus menerus gantungan kuncinya sampai wanita paruh baya itu berinisiatif untuk membukanya dan memberikannya pada jisung.

Dengan senyuman, salah satu barang terpentingnya ia berikan pada seorang malaikat yang menyelamatkannya tadi.

“ini ambil buat omegamu” kata wanita itu dan jisung hanya bisa berucap terimakasih berkali-kali, “kamu habis darimana? Kenapa kotor begini astaga”

“saya habis bersihin makam, tante. Makam bunda saya dirusak”

“kenapa bisa?”

“saya... ” jisung menengadah. Menahan air mata agar tidak jatuh, namun nihil, karena mau ditahan sekuat apapun pasti akan luruh juga. Biar jisung menjadi rapuh untuk sehari. Di depan wanita paruh baya itu, ia mengadu banyak hal seperti berbicara dengan bunda dulu.

Hari sudah gelap. Jisung masih asik cerita tentang rasa sakitnya pada wanita itu yang ternyata mendengarkannya, sampai jisung tersadar bahwa ia melewati janjinya.

“ASTAGA TANTE! saya harus pulang”

“loh tiba-tiba?”

“saya ada janji, tante mau saya antar pulang?”

“sebenarnya saya maunya ke terminal bus, tapi kalau merepotkan tidak apa. Saya bisa naik taxi—”

Jisung berfikir, terminal bus cukup jauh dari rumahnya. Tapi meninggalkan wanita itu jauh lebih berbahaya. Maka ia relakan beberapa waktunya untuk berputar arah ke terminal bus, berharap mamah chenle masih ada dirumahnya untuk mendengar beberapa penjelasannya.

“ayo tante saya antar, udah malem. Bahaya”

Wanita itu tersenyum dan mengangguk kecil. Ia menepuk bahu jisung pelan, “kamu orang baik, omega kamu sangat beruntung punya alpha seperti kamu”

“terimakasih tante”

“andai anak saya mendapatkan alpha seperti kamu ya... Pasti saya tidak akan menjodohkannya”

Tanpa mereka sadari, sedari tadi percakapan itu telah terjadi. Wanita paruh baya itu menatap lekat sosok jisung disebelahnya. Jisung itu alpha yang kuat dari alpha manapun, ia berharga dan omeganya harus bangga memilikinya dalam hidup. Padahal ia yang menyuruh chenle agar tidak bersamanya.

Chenle menarik tas mamahnya. Tas dengan gantungan kunci bergambar lumba-lumba hadiah pemberiannya saat ia masih kecil, chenle ingat sekali, ia memberikannya atas dasar menyayangi mamahnya yang pengertian.

Tapi untuk pertama kalinya, chenle harus bermohon dan menangis meminta mamanya untuk mengerti, untuk menunggu beberapa jam lagi.

“1 jam lagi ya mah... tunggu, jisung pasti dateng”

Mamahnya melepaskan pegangan tangan chenle lalu memilih mengenggam tangannya erat dan gelengan dengan tatapan kecewa tergambar disana, “mau berapa lama lagi? Mamah dari siang sampai hampir malam menunggu tapi alphamu sama sekali ga ada itikat baiknya” ucap wanita paruh baya itu.

Chenle tertegun, ia berkali-kali menghapus air matanya. Lalu mencoba kesempatan kali ini menelpon jisung lagi, walaupun hasilnya sama seperti 50 panggilan tak terjawab sebelumnya.

“lihat? Apa yang kamu harapkan dari dia?”

“aku ga mau dijodohin... Aku ga mau! Setidaknya kalau ga sama jisung aku ga bakalan sama siapapun!” chenle menggelengkan kepalanya kencang dengan tangisan

PLAK!

tamparan itu melayang tepat di pipi kanan chenle, wajah itu sontak memerah. Mamah melihatnya dengan nafas terburu, wanita paruh baya itu menangkup kedua pipi chenle lalu mengusapnya lembut. Rasa sesal karena menampar anaknya mulai melingkupi dirinya.

“sayang dengar mamah, kamu ga akan bisa sendiri—”

“bisa, Aku bisa urus diriku sendiri”

“kamu gak akan bisa—”

“karena mamah ga restuin aku sama alphaku jadi aku ga bakalan sama alpha lain, ga akan bisa! Mamah tau soal takdir omega dan alphanya kan—”

“kenapa masih bisa kamu berharap takdir untuk orang yang ga cinta sama kamu? Kamu mau aja dibodoh-bodohin!” Mamah tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya kecil, dengan air mata yang terus menerus jatuh ke pipinya, ia cengkram kuat-kuat bahu anaknya. Memohon agar chenle mengerti bahwa jisung bukanlah pilihan yang tepat untuk hidupnya.

Chenle menutup mulutnya agar isakan tangisnya teredam karena terkejut dengan mamahnya, kata-katanya sangat membuat hatinya sakit ditambah lagi nyeri dalam perutnya.

Ucapan mamahnya benar. Harusnya chenle sadar diri mengetahui fakta itu. seseorang tidak bisa dibuat jatuh cinta kalau memang ia tidak ingin dari awal.

Jadi selama ini apa? Chenle hanya membuang waktunya percuma.

“sungchan bakalan jemput kamu, lebih baik kamu sama dia. Mamah mau balik, mamah percaya sungchan bisa jaga kamu sampai kamu melahirkan”

”... dan pernikahan kalian akan segera dilangsungkan” ucap si mamah lalu pergi meninggalkannya sendiri.

Chenle masih berusaha meraih tangan mamahnya namun ditepis pelan oleh wanita paruh baya itu. Kalimat permohonan terus menerus ia teriakan, tapi mamahnya tak mengindahkan, sampai tubuh wanita itu hilang dibawa taxi pesanannya.

Sementara omega itu masih sibuk menangis sambil memegang erat perutnya yang nyerinya luar biasa. Ia bingung, ia cemas juga khawatir soal kemana alphanya hingga larut malam begini tidak pulang bahkan tidak mengabarinya.

Kecewanya menorehkan luka yang cukup dalam, apalagi saat ia sadar akan satu fakta bahwa harapan untuk dicintai sama sekali tidak ada, bahkan di hari yang omega tunggu-tunggu, alphanya sama sekali tidak datang. Chenle bingung harus kemana, kapten perahunya hilang arah sementara dirinya buta jalur.

“chenle...” suara yang tak asing menyapanya, diusapnya pipi chenle yang basah. Ia bawa wajah itu untuk menatapnya dan tangis chenle pecah disana.

“renjun, bawa gue pergi, gue gak mau sama siapa-siapa. Gue gak mau... bawa gue pergi” chenle memeluk renjun erat dan laki-laki beta itu hanya bisa menenangkannya agar calon bayi tidak kenapa-kenapa

“mau kemana? Lo ga bakalan bisa tanpa jisung, kan?”


Malam semakin mencekiknya dengan perasaan bersalah pada anaknya. Air mata berkali-kali menutupi pandangannya. Telinganya mendadak tidak mendengar apapun termasuk bunyi kencang bel mobil dari sampingnya.

TIN TIN!!

Wanita paruh baya itu menoleh, nyaris truk besar disamping menabraknya kalau saja seseorang tidak menariknya kencang ke trotoar. Jantungnya sejenak terhenti. Ia nyaris mati. Ia menoleh ke arah seseorang yang menariknya barusan.

Laki-laki itu memejamkan matanya, nafasnya tak kalah memburu darinya. Seorang alpha yang dari mencium feromonnya saja wanita paruh baya itu mengetahuinya.

“tante gapapa?” ucapnya, raut wajahnya khawatir.

“gapapa, kamu...” wanita paruh baya itu mengusap dahi laki-laki alpha itu, terdapat bercak darah yang banyak disana. “berdarah?”

“bukan gara-gara tadi kok tante”

Wanita itu menarik tangan alpha itu agar terduduk di kursi dekat trotoar, ia mengeluarkan kotak obat yang ia bawa di tas kecilnya. Mengambil obat merah dan juga plester.

“kamu kenapa?”

“terimakasih tante” alpha itu tersenyum senang, terlihat dari matanya yang menyipit karena senyuman, “saya tadi hampur ditabrak mobil tapi beruntung bisa ngehindar”

“ya ampun, hati-hati....” ada jeda sebentar, sebelum akhirnya alpha itu peka akan sesuatu, ia tersenyum kecil lalu menatap wajah wanita paruh baya itu yang nampak khawatir

“loh lumba-lumba, tante suka juga ya?” jisung melihat gantungan kunci yang tergantung apik di tas miliknya. Lumba-lumba adalah salah satu hewan favorite chenle jadi setiap ia bertemu apapun dengan gambar hewan itu maka yang terlintas dipikirannya adalah chenle.

“ini anak tante yang berikan—”

“omega saya suka banget sama hewan ini, udah jadi ciri khasnya dia banget” ucap jisung dengan wajah yang berbinar dan nada antusias yang kentara. jisung memandang terus menerus gantungan kuncinya sampai wanita paruh baya itu berinisiatif untuk membukanya dan memberikannya pada jisung.

Dengan senyuman, salah satu barang terpentingnya ia berikan pada seorang malaikat yang menyelamatkannya tadi.

“ini ambil buat omegamu” kata wanita itu dan jisung hanya bisa berucap terimakasih berkali-kali, “kamu habis darimana? Kenapa kotor begini astaga”

“saya habis bersihin makam, tante. Makam bunda saya dirusak”

“kenapa bisa?”

“orang jail tante hahaha, emang kurang ajar sih”

Hari sudah gelap namun jisung masih asik cerita dengan wanita itu, menceritakan banyak hal sampai tertawa, sampai jisung tersadar bahwa ia melewati janjinya.

“tante sekarang jam berapa ya? Kok udah malem banget” tanya jisung, ia mengeluarkan handphonenya yang rusak akibat kecelakaan tadi, hpnya dilindas sampai pecah. Memang kurang ajar, terkadang jisung bingung salahnya apa sampai harus mendapatkan ini semua, yang tau jawabannya hanya sungchan. hadeh

Wanita itu mengeluarkan handphonenya lalu memperlihatkan jam yang tertera di lockscreennya. Mata jisung membulat sempurna saat menyadari sudah terlalu malam dan pertemuannya dengan mamahnya chenle adalah siang hari.

bisa kena masalah kalau begini

“ASTAGA TANTE! saya harus pulang”

“loh tiba-tiba?”

“saya ada janji, tante mau saya antar pulang?”

“sebenarnya saya maunya ke terminal bus, tapi kalau sedang buru-buru tidak apa. Saya bisa naik taxi lagi kesana—”

Jisung berfikir, terminal bus cukup jauh dari rumahnya. Tapi meninggalkan wanita itu jauh lebih berbahaya. Maka ia relakan beberapa waktunya untuk berputar arah ke terminal bus, berharap mamah chenle masih ada dirumahnya untuk mendengar beberapa penjelasannya.

“ayo tante saya antar, udah malem. Bahaya”

Wanita itu tersenyum dan mengangguk kecil. Ia menepuk bahu jisung pelan, “kamu orang baik, omega kamu sangat beruntung punya alpha seperti kamu”

“terimakasih tante”

“andai anak saya mendapatkan alpha seperti kamu ya... Pasti saya tidak akan menjodohkannya”

Tanpa mereka sadari, sedari tadi percakapan itu telah terjadi. Wanita paruh baya itu menatap lekat sosok jisung disebelahnya. Jisung dimatanya itu alpha yang kuat dari alpha manapun, ia berharga dan omeganya harus bangga memilikinya dalam hidup. Tapi, sayangnya ia tidak menyadari kalau yang sedang berbagi tawa dan cerita sedari tadi, yang menolongnya, yang bersedia merelakan waktunya yang terburu adalah alpha anaknya.

Hari ini adalah hari dimana untuk pertama kalinya restu akan mengeratkan hubungan dirinya dengan chenle. Jisung benar-benar tidak bisa tidur semalaman saat mengetahui bahwa mamah chenle akan datang keesokan harinya. Berkali-kali bangun lalu tidur kembali, jalan kesana kemari mencari kata-kata yang pas untuk berbicara dengan beliau.

Jisung mengira akan berjalan lancar seperti itu, sampai satu telepon dari nomer orang yang tidak dikenal memanggilnya. Sejenak jisung mengernyitkan dahi lalu memilih mengangkatnya— takut kalau terjadi sesuatu yang penting.

“Halo—” sapaannya dibalas tawa yang kencang dari sana. Jisung mengenal suara itu dengan sangat baik. Itu sungchan.

“halo jisung, lama gak ngobrol lagi”

“mau apalagi?”

Ada jeda sebentar, terdengar sungchan tengah sibuk dengan suatu hal disana. Entah kenapa perasaan jisung sama sekali tidak menunjukkan hal baik.

“tempat pemakaman bunda lo ternyata cukup jauh ya”

Jisung membulatkan matanya, amarah mulai menguasainya. Berani-beraninya orang yang membunuh bundanya menginjakkan kakinya disana. Jisung tidak sudi sama sekali.

“jangan sentuh bunda gue!”

“terlambat, gue hancurin semuanya sama kayak dulu kan ji”

“BANGSAT—”

Telepon dimatikan sepihak oleh sungchan. Tanpa pikir panjang segera jisung lajukan mobilnya ke arah pemakaman bundanya. Memang manusia paling sialan adalah keluarga baru ayahnya, mau dihancurkan seperti apalagi hidupnya? Padahal jisung sama sekali tidak ingin berurusan dengan mereka lagi.

Pikiran jisung terlalu sibuk dilingkupi kekhawatiran tentang makam bundanya, melupakan bahwa janjinya tengah menunggunya yang tak berkabar di depan pintu rumah.


Chenle bergerak gelisah, kakinya tidak bisa diam sedari tadi mamanya datang. Berjalan kesana kemari di depan pintu terkesan gugup dan grogi, mamanya yang melihat itu menghela nafas lalu menuntun chenle agar duduk tenang disebelahnya.

“duduk sayang, kasian anak kamu”

“mah, tunggu lagi sebentar ya. Jisung pasti dateng kok, dia udah janji”

mamahnya mengehela nafas pelan sambil mencuri pandang ke arah jam di dinding sebelah mereka, akhirnya memilih mengangguk, tangan wanita paruh baya itu memilih mengusap pelan perut chenle. Tidak meringankan perasaan chenle sama sekali, ia khawatir. Janjinya apa akan diingkar lagi?


Sementara jisung, berlari ke arah makam bundanya yang benar adanya. Makam itu rusak semuanya, bak dilanda badai, semuanya dihancurkan tak bersisa. Bunga mawar yang tubuh lebat bertahun-tahun itu dipotong sampai hancur. Padahal bunga itu membuat jisung selalu menganggap bundanya hidup tapi sialannya sungchan menebangnya.

Seseorang mencoba merapikan segala kekacauan itu di depannya, ia menangis sambil mengambil beberapa tanah yang terkena injakan sungchan. Pria paruh baya itu menangis sejadi-jadinya, berteriak ampun dan maaf berulang kali. Jisung benci melihatnya, ia dorong keras laki-laki itu menjauh dari makam bundanya.

“jisung jisung, ayah minta maaf”

“GARA-GARA LO, BAJINGAN!” dengan teriakan yang cukup keras jisung suarakan sakit hatinya. Dengan tangan kosong ia bersihkan makam bundanya dari sampah-sampah yang berserakan, ia hilangkan jejak kaki bekas injakan, ia memeluk tanah itu dan menangis sejadi jadinya. Alpha itu berusaha untuk membuat makam bundanya selalu tampak cantik dan indah dengan mawar putih yang ditanam tepat disamping nisan bundanya. Karena selama hidupnya yang di derai ribuan masalah, jisung cuman punya bunda walaupun sebenarnya bunda sudah tiada.

“bunda..” jisung bersihkan semuanya satu-satu, tidak peduli dengan sosok ayahnya yang masih terisak di depannya, tidak peduli dengan baju kantornya yang kotor, jisung ingin bundanya berbahagia.

“ayah sama sekali ga tau kalau sungchan bisa sampai ngelakuin hal ini”

Jisung tidak menjawab, ia masih sibuk membersihkan semuanya

“ayah bener-bener minta maaf, ayah minta maaf—”

“pergi” jisung duduk disamping makam bundanya tepat membelakangi ayahnya, ia mengusap nisan itu pelan.

Dan ucapan itu menjadi akhir percakapan mereka kala itu, ayahnya tak banyak bicara, ia pergi dengan isakan tangis yang masih terdengar. Jisung sekali lagi tidak peduli, tidak akan.

Dua jam jisung berdiam diri sambil menangis disana, ia rindu bundanya. Selalu. Setiap hari. Tapi jahatnya seseorang melakukan ini pada bundanya walaupun ia sudah tak lagi bernyawa.

Dua jam berlalu dan jisung melupakan janjinya.

Jatuh cinta terlalu menyenangkan sampai buat hilang akal

Sungchan punya segala hal dalam hidupnya. Orangtua yang lengkap, hidup yang lebih dari cukup, pekerjaan yang menjanjikan dan juga ia adalah laki-laki yang mapan, seorang alpha yang selalu mendominasi segala hal dan juga loyal. Hidupnya penuh sukacita dari lahir, selalu disambut dengan senyuman tempatnya berpijak.

Sebahagia itu tapi alpha itu tak pernah merasa cukup dalam hidupnya.

Saat jatuh cinta alpha itu selalu merasa dirinya kurang, menaruh perasaan pada seorang omega bernama chenle selalu membuatnya menilai dirinya yang sebenarnya banyak kelebihan itu adalah manusia yang penuh kekurangan apalagi saat dibandingkan dengan jisung yang bahkan tidak seberapa dibanding dirinya.

Padahal dibanding jisung, ia lah yang pantas mendapatkan cinta dan perhatian dari chenle. Cukup lama ia menaruh perasaan pada omega itu, masih tersimpan rapi di hatinya walaupun sudah 10 tahun ia menaruh rasa tertarik pada chenle. Tepat saat di taman kanak-kanak, dirinya mengenal sosok chenle yang pemberani dan kuat untuk seukuran seorang dengan status omega.

Chenle itu unik, ia baik, dan pantas mendapatkan cinta yang layak darinya.

Sampai takdir membawa mereka dalam sebuah perjodohan yang disetujui kedua orangtua mereka. Sungchan pikir ia akan mempunyai kesempatan banyak untuk mendapatkan omega itu tapi nyatanya ia kalah cepat dengan seorang alpha lain.

Hari dimana menjadi peringatan patah hati sedunia bagi sungchan. Sempat berpikir untuk menyerah untuk bersama omega itu namun karena dorongan bundanya untuk selalu berusaha mendapatkan apapun yang ingin dimiliki, entah dengan cara apapun maka sungchan akan perjuangkan cintanya sebelum terlambat karena ia tau bahwa jisung itu sama sekali tidak mencintai chenle.

Sungchan terlalu sibuk dengan pikiran mengambil chenle dari jisung sampai lupa untuk mengerti keadaan mereka, mengerti bagaimana takdirnya bukan tertulis untuk chenle, mengerti dirinya sendiri.

Sungchan mengemis cinta dan perhatian dari seseorang yang bahkan sama sekali tidak mencintainya. What a fool?


Sungchan memandang ponselnya geram, ia menbanting gelas kaca yang awalnya ia genggam setelah dipakai untuk minum. Dirinya menatap sebuah chat dari chenle dan ternyata rencana satu gagal ia lakukan.

“bangsat! Kok dia bisa ga ngira kalau alphanya yang brengsek itu selingkuh?” sungchan mengangkat tinggi-tinggi ponselnya, nyaris bernasib sama seperti gelas kaca itu sebelum akhirnya seseorang memegang tangannya dari belakang. Salah satu pembantu setianya, seorang laki-laki manis berstatus beta.

“mau sampe kapan sih lo ganti hp mulu? Ga kasian sama duit lo yang banyak itu!” ucapnya sarkas sambil membersihkan kekacauan yang tuannya buat, dengan ocehan tidak jelas ia membersihkan serpihan kaca itu satu-satu.

“minggir!”

“lo berani nyuruh-nyuruh gue?—”

“Kenapa? Mau pecat gue? Silahkan, tapi gue yakin lo gak bakalan bisa apa tanpa gue tuan muda yang terhormat”

Sungchan berdecih, ia memundurkan langkahnya tapi sialnya malah terkena serpihan gelas yang pecah tadi, alhasil dirinya terluka di bagian telapak kaki. Shotaro— pembantu setianya melihatnya lalu mendecak pelan, segera ia dorong tubuh sungchan agar terduduk sementara ia pergi mencari obat luka dan perban.

“sakit anjing, pelan dong!”

Bukannya dipelankan, gerak tangan shotaro semakin brutal membersihkan luka itu.

“awh! Lo gila?”

“iya gue gila! Gue gila gara-gara lo, gue udah sering bilang berhenti ngejar orang yang udah punya mate. Lo ngerti bahasa manusia gak?!”

Sungchan berdiri dari duduknya dan menatap sinis pembantunya itu lalu dengan kedua tangannya, ia cengkram bahu laki-laki itu erat. Netranya memancarkan lelah dan amarah, “kenapa gue harus berhenti anjing? Gue cinta sama dia—”

Shotaro mengehela nafas tak kalah lelah, ia lepas cengkraman itu kasar, lalu mendorong sungchan agar terduduk kembali. Dengan satu telunjuk mengarah ke tuannya ia tekankan kalimat ini sekali lagi, “karena percuma goblok!”

Sungchan terdiam. Kata-kata yang selalu menusuk relung hatinya, berteriak bahwa usahanya akan selalu berakhir percuma. Shotaro tidak peduli, ia memilih meninggalkan sungchan sendirian— agar sejenak alpha itu berfikir jernih

percuma, perasaannya akan sia-sia katanya

Kalian pernah jatuh cinta?

Semua manusia pasti pernah jatuh cinta. Salah satu perasaan yang diciptakan indah dan sempurna, ia perasaan yang memang diukir sedemikian apiknya. Kata orang, cinta tidak pernah ada yang salah, semua pasti dibenarkan, semua punya hak untuk itu. Cinta itu luas dan bebas. Tidak ada hukumnya apalagi batasnya.

Ya, semenyenangkan itu dan chenle benar merasakan itu setelah berbulan-bulan mengenal sosok jisung, seorang alpha yang tak sengaja ia temukan dan menjadi kesalahan terbesar dalam hidupnya.

Kalau kalian tanya, apa saat itu chenle menyesal bertemu jisung? Ya, sangat. Mungkin rasa sesalnya lebih daripada jisung saat itu, banyak hal menjadi pertimbangannya setelah itu terjadi. Kegiatan mating yang chenle tak pernah inginkan terjadi dalam hidupnya ternyata kejadian dengan orang asing. Siapa yang tidak shock?

Chenle pernah sebenci itu dengan jisung, karena alpha itu hidupnya makin sulit! Sisi omeganya jadi bergantung dengan sisi alpha si brengsek itu. Chenle mendengus sebal, ia bukan omega yang hanya ingin mengekor pada seorang alpha. Chenle itu keras kepala, egois dan ingin selalu benar. Mana bisa hidup dengan seorang alpha yang akan selalu mendominasinya. Chenle benci diatur apalagi dianggap lemah.

Tapi, ternyata jisung itu berbeda

“menurut lo gimana?”

“lo nanya pendapat gue?”

“salah?”

Chenle terdiam, ia tertegun sebentar. Seulas senyum terukir tipis, “menurut gue itu lebih baik gini aja...” chenle menyuarakan pendapatnya dan jisung mendengarnya. Alpha itu memperhatikan setiap kata dan sampai akhirnya ia mengangguk setuju.

“oke, gue setuju. Kita pake ide lo aja”

Hal sepele tapi jarang terjadi di masyarakat— tepatnya, mungkin tidak pernah sekalipun chenle lihat seorang omega seperti dirinya di dengar apalagi diminta pendapatnya. Omega di pandangan masyarakat itu manusia yang hanya bergantung hidup pada seseorang. Lemah. Tidak bisa apapun. Tidak punya pilihan.

Serendah itu dan chenle benci itu. Sampai mamanya sendiri pun diperlakukan seperti itu oleh papanya. Bagaimana chenle bisa tidak percaya kalau ternyata masih ada saja yang menganggap omega selemah itu.

Tapi, ternyata jisung itu berbeda

Alpha itu mendengarkannya, alpha itu menyimak setiap katanya, alpha itu mencoba mengerti dan bohong kalau chenle tidak jatuh cinta dengan pesona jisung dan segala perlakuan istimewanya.

Chenle tau manusia tidak ada yang utuh dan jisung jauh dari kata 'utuh' karena hidupnya itu mungkin bisa diibaratkan kapal pecah yang siap tenggelam, sudah hancur dan kacau. Tapi bagi orang yang sedang dimabuk asmara, semuanya selalu tampak sempurna. Jisung tidak sesempurna itu, sih, ia hanya manusia sederhana dengan cara berpikirnya masih bisa menghargai dan menghormati semua orang tanpa memandang siapapun itu walaupun statusnya seorang alpha dan itu yang membuatnya tampak sempurna.

Perasaan chenle bukan main-main. Memang terlihat terlalu cepat dan juga walaupun alphanya belum memiliki perasaan yang sama, omega itu sama sekali tidak peduli. Ia biarkan perasaannya bermuara di tempat yang seharusnya, di tempat dimana ia bisa jadi dirinya sendiri.


Ponsel chenle disebelah bergetar, menampilkan beberapa pesan dari seseorang yang tak ia kenal. Orang itu mengirimkan gambar, chenle mengernyit melihatnya.

“siapa nih?” chenle bermonolog, ia memicingkan matanya lalu seketika jantungnya berdegup cepat

foto yang dikirim itu adalah jisung

Malam akhirnya menyapa menemani penatnya manusia, sama seperti biasanya, lampu kamar jisung menjadi remang saat waktunya pasangan mate itu harus tidur. Sekarang jam sudah menujukkan waktu pukul 11 malam dan jisung sama sekali belum ingin memejamkan matanya yang kentara lelah seharian ini. Ia masih terbayang akan kata-kata dari mamahnya chenle tadi dan mulai mempertanyakan dirinya

Apa benar ia bajingan?

Rasa takut dan kalut mulai menghampirinya, baru tadi ia bisa menghilangkan semua hal tentang ayahnya tapi entah kenapa ada saja yang menariknya kembali lagi dan lagi.

Tubuhnya ia balikkan ke arah chenle yang memunggunginya, badan yang lebih kecil dari dia itu sudah tidur ternyata, perlahan tangannya mulai mengalung ke arah pinggang omeganya lalu memeluk sang omega erat. Feromonnya nyaman. Aura omega itu selalu menenangkan. Ini yang jisung takutkan kalau saja omeganya mendadak pergi, meninggalkan atau ia tinggalkan.

Tak lama pelukan itu, chenle melepaskan diri. Omega itu juga berbalik ke arahnya. Menatapnya intens walau dalam cahaya remang.

“nangis?”

Jisung terkesiap, “e-enggak, mana ada sih”

“udah gue bilang, lo ga pinter bohong gausah sombong”

Akhirnya jisung terdiam, ia bungkam seribu bahasa. ia memang tak pandai dalam hal berbohong.

“mamah kata-katanya nyakitin ya?” tanya chenle, jisung melihatnya dengan matanya yang berkaca lalu menjawabnya dengan gelengan kepala

iya, dia bilang gue bajingan le. Kata-kata yang paling gue hindarin seumur hidup

“masa? maafin mamah ya, jangan dimasukin ke hati ji”

dia bilang gue ga pantes buat lo, padahal gue udah berusaha

“mamah bukan gue jadi dia gatau aslinya lo gimana. Gue lebih tau lo daripada orang lain”

lo belum tau seluruhnya le

“gue ga suka pembohong, lain kali jujur sama apa yang lo rasain sama apa yang lo alamin, setidaknya ke gue? Jangan dipendem terus”

“ayo tidur” jisung mengabaikannya lagi, alpha itu menarik selimutnya agar menutupi mereka berdua, namun tangannya keburu ditarik oleh chenle dan dibawanya telapak tangan besar itu untuk melingkupi perutnya

Jisung rasakan gerakan dari dalam perut chenle, ia membulatkan matanya terkejut “nendang?”

Chenle terkekeh kecil lalu mengangguk, “lo janji mau elusin lagi, si jiel ga bisa diem”

“modus ya?”

Chenle tersenyum dan menggelengkan kepalanya kecil, ia enggan berdebat karena kesadarannya sudah hampir di rampas. Soal perasaan jisung yang tak karuan sudah dirasakan naluri omeganya, makanya jisung sering ketahuan kalau sedang gundah. Chenle menghembuskan nafasnya kecil, tatapan sayu karena mengantuk ia tujukan pada alphanya yang menatap perutnya terlalu serius.

“jisung, lo bisa ga jangan pergi?” tanyanya namun jisung tak merespon, baru sadar, ternyata pertanyaan itu hanya bersuara di hatinya.

Telapak tangan jisung yang awalnya menangkup perut chenle, berakhir mengusapnya lembut sampai tidak sadar chenle makin lama makin memejamkan matanya lalu tertidur pulas. Jisung menatap mata yang terpejam itu dan pikiran kalutnya kembali menyelimuti.

kalau tidak cinta, setidaknya jangan rusak anak saya

Telapak tangan jisung beralih mengusap punggung tangan omeganya, lalu membawa tangan itu ke dahinya dan memegangnya erat. Terlalu erat seakan tidak membiarkannya lepas.

“saya sayang chenle tante, tolong jangan dipisahin. Saya bukan bajingan, saya bukan bajingan, saya bukan ayah...”

Jisung hanya takut kedua orangtua chenle akan menjadi perpisahan baru baginya dan omeganya.

Sore hari itu, saat senja sedang cantik-cantiknya di ujung pantai. Jisung di dalam mobilnya menangis dalam diam, sambil menatap matahari yang perlahan menghilang dirinya hancur dibawa semua masa-masa kelamnya dulu. Dadanya sesak tak karuan, nafasnya tak beraturan, dan air matanya terus menerus berjatuhan tapi tetap tak mengubah keadaan.

Memang semuanya sudah hancur dari awal, entah bagaimana lagi harus memperbaikinya lagi, jisung hilang harapan. Ia awalnya mengira kalau masa itu akan lenyap setelah bertahun-tahun lamanya mereka hilang dari hidup jisung.

Sakit. Iya sakit rasanya. Bahkan ayahnya tadi hanya bertanya hal-hal yang tidak perlu ditanyakan, bagaimana makan dan tidur mu?, bagiamana sekolahmu?, uang yang ayah berikan, bagaimana hidupmu? dan semua pertanyaan yang bahkan ia harusnya tau jawabannya akan seburuk apa!

Ia berumur lima semenjak laki-laki itu meninggalkannya. Memang lucu sekali pertanyaannya, sok peduli padahal ia yang meminta pergi.

Jisung menundukkan kepalanya di setir mobilnya, tidak ada yang bisa membendung tangisnya yang terus menerus keluar, ternyata rasa sakitnya masih sama seperti awal ia dihancurkan. Pantai di hari senin sedang sepi-sepinya, sangat cocok untuk melepas emosi yang akhir-akhir ini melingkupi dirinya. Handphone sengaja ia pakai dalam mode silent. Ia hanya ingin terlihat baik-baik saja saat nanti pulang walaupun ia tau chenle itu cerewet, kalau belum dapat jawaban pasti akan bertanya terus menerus atau akan ngambek.

“capek banget...”

Ia mengambil handphonenya lalu telepon dari seseorang terlihat disana, itu dari omeganya maka sudah ditebak chenle akan berteriak saat ia mengangkat teleponnya kali ini, karena 30 panggilan yang sedari tadi ia abaikan.

“hal—”

“halo jisung?”

“iya jisung, siapa ini?” jisung tersenyum jail saat ada jeda dari panggilan chenle disana

“lo ga tau siapa gue?”

“gak, siapa ya ini?”

“CHENLE!”

jisung tertawa kencang mendengar teriakan chenle, “tenang bumil, jaga emosi kata bu dokter”

“MATA LO BUMIL, PULANG ATAU GUE KUNCI LO DI LUAR”

“iya iya cerewet ini pulang sekarang, gue lg belanja jug—”

“BELANJA APA?!”

“kepo—”

“GUE LAPER”

“ya makan?”

“mau sate boleh?” mendadak suara omega itu memelan karena ingin meminta sesuatu, jisung mencibirnya. idih

“ya boleh”

Setelahnya chenle mematikan teleponnya sepihak, jisung menghapus air matanya lalu segera menghidupkan mobilnya. Tujuan selanjutnya adalah membeli pesanan omeganya itu, sate ayam

Dan jisung sadar akan sesuatu, baru saja tadi emosinya tak terkendali namun saat mendengar omeganya, perasaannya kembali membaik. Jisung sadar itu sering terjadi.

Luka itu membunuh saya.

“baik, terimakasih atas perhatiannya. Presentasi saya akhiri, semoga bapak dapat mempertimbangkan dengan baik soal kerjasama in—”

“saya setuju” ucap cepat seseorang yang menjadi clien jisung hari ini. Sementara jisung menanggapinya hanya dengan mengangguk kecil lalu tersenyum ke arah bosnya yang mengacungkan dua jempol untuknya.

“baik terimakasih”

Bagus. Sangat bagus usahanya hari ini, presentasi yang memuaskan namun sayangnya tidak menyenangkan, nafas jisung tercekat dan suasana mendadak menegang

Dan seperti biasa, takdir selalu bermain-main dengan hidupnya.

Saat jisung membereskan berkasnya dengan cepat dengan tangan yang gemetar, segera ia pergi dari sana dengan dalih izin ke kamar mandi. Jisung tidak mempersiapkan diri sebelumnya kalau tau ternyata rekan kerjanya adalah ayahnya sendiri. Mata mereka bertemu membuat jisung makin sesak saat melihat senyum dari orang yang menghancurkan hidupnya

Jisung berjalan terlalu cepat menuju basement kantor, ia akan memilih berada di dalam mobil ketimbang harus melihat wajah yang membawa seluruh traumanya kembali.

“Jisung! Nak...” seseorang memanggilnya lantang. Degup jantung jisung tak karuan, ia tahu siapa pemilik suara itu, enggan menoleh dan tetap berjalan cepat. Sampai akhirnya tangannya dicekat erat dari belakang namun jisung berhasil tepis tangan pria paruh baya itu kasar. Kali ini jisung melemah, rasa takutnya membuatnya kalah apalagi saat melihat ayah

Pria itu tidak mengindahkan kelakuan kasar anaknya, ia tetap memberi senyum walau wajah anaknya terlihat benci padanya, namun ia berfikir pantas untuk mendapatkan itu

“jisung, kamu apa kabar?”

Jisung berdecih, ia tidak menjawab pertanyaan itu.

“kamu makan dengan benar kan?”

“bagaimana sekolahmu?”

Bahkan ayahnya sendiri melewatkan masa-masa itu.

“kamu anak yang pintar ya sampai mendapatkan posisi terbaik disini, ayah menerima kerjasama ini karena kamu ada disini—”

“jangan” satu kata akhirnya keluar dari mulut jisung, “jangan karena saya, anda terima kerjasama ini. Itu sama saja anda tidak menghargai usaha kantor ini”

“jisung, bagaimana hidupmu selama ini? Terjamin kan? Ayah selalu memberi pamanmu uang untuk kebutuhanmu”

“saya sama sekali tidak menerimanya, kalau anda ingin ambil semua uang itu. Silahkan datang ke paman dan ambil semuanya”

“jisung, bagaimana hidupmu?”

“Menderita. Saya menderita.” ucap jisung penuh penekanan.

“uang yang ayah beri—”

“saya sama sekali tidak butuh uang asal anda tau!” jisung menekan jari telunjuknya di depan dada ayahnya berkali-kali. “kalau benar anda ayah saya, harusnya anda tau yang saya butuhkan selama ini, itu anda!”

Jisung benar terisak disana, emosinya kalah dengan semua rasa sakit yang ia derita selama bertahun-tahun lamanya. Tidak ada yang mengerti, semua hanya menaruh luka padanya. Bertahun-tahun menjadi hari paling sialan yang jisung dapat dan bahkan ayahnya tidak pernah ada disampingnya saat itu, menemani masa-masa penyembuhan dirinya sendiri. Memang bajingan

Ayahnya terdiam enggan berbicara banyak, matanya bergerak gelisah dan jisung hanya tertawa sinis menanggapinya.

“bahkan tidak ada kata maaf dari mulut anda”

Jisung menutup pintu rumahnya pelan, senyum sedari tadi tak luntur dari wajahnya, matanya menyipit menandakan bahwa ia sangat senang saat membaca chat dari chenle tadi. Kaki panjangnya dihentakan beberapa kali di teras rumahnya, wajahnya ia tutup dengan jemari panjangnya, senyum masih bisa mengintip dari sana.

Ia betulan gemas. Apa katanya tadi? Papa

Sepertinya ia akan mendapatkan traktiran serta gaji yang bertambah dari si bos karena perasaannya hari ini sedang bagus-bagusnya, ia yakin presentasinya akan menarik clien nantinya.


Bisakah manusia hidup dengan rasa takut?

Pertanyaan itu terus-menerus berputar di kepala jisung. Dari ia mulai masuk sebagai anak murid kelas satu sampai ia bekerja disebuah perusahaan besar saat ini pertanyaan itu tidak terjawab atau mungkin belum? Jisung belum menemukan jawaban itu dalam benaknya.

Jisung dan trauma masa lalunya, jisung dan semua hal yang terjadi dalam hidupnya adalah apa yang manusia itu benci. Ia membenci bagaimana hidup dan takdirnya tertulis. Alpha itu benci mengetahui ia masih bernafas keesokan harinya. Setiap hari. Setiap waktu. Setiap saat ia berharap kalau esok biar tiada saja, agar beban di bahunya meringan, namun tetap saja hari esok sama berjalannya seperti hari-hari biasanya.

Setiap hari menjadi hari yang sama menyakitkannya.

Usianya masih lima tahun saat melihat bundanya terdiam, memejam dalam senyum. Tubuh wanita paruh baya itu mendadak kaku. Omega itu mati membawa patah. Umurnya masih terlalu kecil untuk mengetahui bahwa bunda yang satu-satunya ia miliki ternyata telah tiada setelah dua minggu mengetahui sang ayah pergi dengan perempuan lain, Pengkhianat itu membunuh bundanya. Jisung kecil hanya bisa meringkuk di lantai, menangis, berteriak berusaha menggapai telepon untuk menelpon pamannya.

Hari itu, bundanya dinyatakan meninggal. Salah satu hari paling menyakitkan yang pernah jisung hadapi. Usianya masih lima tahun saat mengetahui bahwa selanjutnya akan menjadi hari-hari beratnya tanpa bunda, tanpa ayah, tanpa siapa-siapa. Jisung menanam ribuan pedih di hatinya yang patah di pemakaman.

Terkadang jisung bertanya, mengapa di dunia ini status paling rendah dan lemah harus bundanya yang mendapatkan? Bunda itu orang baik, lemah lembut dan semua orang menyayanginya kecuali ayahnya. Memang benar katanya, seharusnya malaikat tidak bisa ada di bumi terlalu lama, terlalu menyakitkan untuk bundanya.

Di hari kepergian laki-laki itu, jisung menangis dan berteriak, memohon belas kasian untuk bundanya yang terus menerus memanggil alphanya yang mengabaikannya dan memilih pergi dengan perempuan lain. Jisung menarik tangan ayahnya namun yang ia dapatkan hanya dorongan kasar dari sang ayah. Membiarkan luka menggores hati anak laki-laki usia 5 tahun, kalimat bengis ia katakan pada anaknya untuk terakhir kalinya, “jangan pernah cari saya” dan kalimat itu terus menerus membekas di ingatan jisung, menjadi luka yang tak akan pernah sembuh sampai kapanpun.

Semenjak hari itu ayahnya sama sekali tidak kembali, entah sekedar menyapa, menjenguk atau mendatangi pemakaman bundanya. Padahal jisung berharap, anak kecil itu berharap dijemput ayahnya. Namun ternyata omongan itu bukanlah omong kosong belaka.

Setelah hari kematian bundanya, ia memilih untuk tinggal dengan keluarga pamannya. Bertahun-tahun jisung tinggal disana dengan kasih sayang yang tidak dibedakan dengan sepupunya, ada bang jaemin dan bang jeno. Mereka baik, hidupnya bahagia, mereka diberkahi banyak keberuntungan dalam hidup, mereka tidak kesepian, mereka itu adalah yang benar dikatakan banyak orang “sebuah anugerah”, sementara dirinya hanya “pembawa sial”. Kadang jisung menaruh banyak iri pada kehidupan sempurna dua kakaknya itu, mengapa bisa dua manusia itu dari lahir sudah hidup membawa jutaan keberuntungan berbanding terbalik dengannya. Mengapa semesta selalu berpihak pada orang-orang dengan hidup yang sempurna? Sementara yang menderita tetap menderita, padahal jisung sudah berusaha keras namun tetap saja sama.

Sampai akhirnya, ia mengenal satu gadis di sekolahnya. Gadis dengan perawakan unik dan manis, gadis itu senyumnya seindah langit senja, gadis yang yang memiliki kepribadian ceria dan selalu cerah seperti matahari, gadis dengan status beta tersemat di dirinya. Jisung jatuh hati untuk pertama kalinya. Semua kata-kata gadis itu benar membangkitkan semangat hidupnya, ia punya alasan untuk hidup hari ini, hari esok, lusa, atau kapanpun itu selagi ia yakin akan terus bersamanya.

Nila namanya. Teman yang akhirnya menjadi kekasih yang paling ia cintai sejagat raya semesta. Jisung benar-benar mencintai gadis itu. Tanpa tapi maupun kecuali.

Nila tau semua tentang dirinya, lukanya dan dukanya selama bertahun-tahun, namun ia sama sekali tidak pernah pergi. Salah satu kalimat nila yang selalu membekas di benaknya adalah; “kamu itu berharga walaupun banyak kekurangan, tapi sama berkilaunya seperti yang sempurna. Jangan menaruh iri terlalu banyak nanti susah bahagia... Jadi kamu saja sudah lebih baik!”

Kata-kata yang manis. Jisung menulisnya dikertas paling bagus lalu memajangnya dengan bingkai foto dan menaruhnya disamping tempat tidur, agar besoknya paginya ia punya alasan untuk bangun, untuk bernafas dan untuk menjalani hari-harinya.

Jisung pernah sejatuh cinta itu dengan manusia. Jisung pernah sebahagia itu setelah mengalami rasa sakit.

Namun ternyata tak lama bahagia itu, saat ia mengetahui bahwa nila berkhianat dengan alpha lain. Di depan matanya sendiri, saat tangannya menggenggam sekotak bekal untuk nila, tepat dibelakang sekolah nila berciuman dengan alpha lain. Hahaha sial

Jisung patah kembali, hatinya hancur kembali. Traumanya bertambah lagi. Harapan hidupnya kandas tak bersisa, semenjak hari itu hati jisung mati. Tak akan pernah ia lagi mengenal cinta apalagi merasakan rasa sialan itu, tak akan lagi ia bentuk rasa sakit itu. Cukup menyiksanya selama bertahun-tahun.

“Bisakah manusia hidup dengan rasa takut?”

Jisung buang semua benda-benda milik nila sekaligus alasannya untuk hidup kemarin. Jisung tertawa saat barang-barang itu hangus di depannya, ia menertawakan nasibnya, takdirnya serta hidupnya. Menangis sudah membuatnya lelah setiap harinya. Semakin dewasa semakin ia takut untuk sekedar bernafas, ia tidak bisa percaya siapapun di dunia yang brengsek ini. Berkali-kali realita membunuhnya.

Jisung menyimpan banyak trauma dalam hidupnya. Alpha itu menyakiti dirinya berkali-kali agar sesak di dadanya dan pikirannya bisa sejenak diam. Berkali-kali juga terlintas pikiran menyusul bundanya kalau saja jaemin tidak menolongnya saat itu.

Ia jiwa mati yang ada di tubuh yang hidup.

Saat ia mulai merasa, saat ia yakin akan bahagia maka saat itu juga ia akan kehilangan. Jisung takut memulai karena tau akhirnya akan tidak sesuai apa yang diinginkan. Laki-laki itu takut menerima perasaannya sendiri, ia takut kehilangan sekali lagi.

Sampai seorang omega datang ke kehidupannya, menarik kembali semua masa lalunya yang datang serempak. Traumanya datang kembali. Semua orang menyalahkannya atas kejadian yang bahkan bukan cuman salahnya. Omega itu yang datang disaat jisung diyakinkan bahwa pesta itu benar-benar nihil omega. Chenle yang memaksa. Omega itu yang menghancurkan dirinya sendiri tapi mencari objek yang dominan untuk disalahkan, ya itu adalah dirinya.

Setelah hari itu, jisung harus menjalani hari-harinya yang berat menjadi lebih berat karena harus melaksanakan tanggung jawabnya yang ini— bersama chenle.

Berbulan-bulan akhirnya memilih tinggal bersama karena sulit untuk berjauhan, dan perasaan chenle mulai tumbuh dengannya. Berkali-kali omega itu selalu berkata “gue sayang sama lo ji” ya, terdengar biasa saja tapi selalu membekas diingatannya. Selalu.Walaupun berkali-kali ia buang kata-kata itu tetap saja tidak ingin hilang di pikirannya.

Chenle pribadi yang kuat walaupun ia adalah seorang omega, chenle manis apalagi kalau sedang tersenyum, seorang omega yang selalu merasa dominan dan jisung cukup salut dengan omega yang satu ini. Ia tidak pernah ingin dianggap lemah walaupun pada dasarnya sifat omega menetap di dirinya. Namun saat perasaannya terucap, berkali-kali juga jisung berusaha tidak peduli atau bahkan membuang semua harapan itu. Ia terlalu takut menerima perasaan itu lagi, ia terlalu takut jatuh cinta. Jisung mengetahui semuanya, diam diam juga memikirkan itu.

Tentang perasaan chenle sekaligus perasaannya. Jisung takut kalau sampai semua tau tentang perasaannya maka saat itu ia akan menerima kehilangan lagi. Jisung hanya mempunyai chenle dalam hidupnya sekarang, untuk sekedar alasannya bangun setiap harinya. Ia akan relakan perasaannya agar semesta tidak mencuri apa satu-satunya yang ia miliki lagi.

Walau nyatanya memang perasaannya lebih besar dari egonya tapi berusaha sebisa mungkin ia sembunyikan dalam gelap sekalipun, agar semesta tidak ikut campur dan malah mengambilnya lagi.

Jisung menyayangi chenle sebagaimana chenle berucap tentang itu setiap hari untuknya namun bedanya jisung takut mengambil langkah karena patah hati sebelumnya. Maka, ia biarkan rasanya tumbuh walaupun tidak ada seseorang pun harus tau.