Maaf?

“baik, terimakasih atas perhatiannya. Presentasi saya akhiri, semoga bapak dapat mempertimbangkan dengan baik soal kerjasama in—”

“saya setuju” ucap cepat seseorang yang menjadi clien jisung hari ini. Sementara jisung menanggapinya hanya dengan mengangguk kecil lalu tersenyum ke arah bosnya yang mengacungkan dua jempol untuknya.

“baik terimakasih”

Bagus. Sangat bagus usahanya hari ini, presentasi yang memuaskan namun sayangnya tidak menyenangkan, nafas jisung tercekat dan suasana mendadak menegang

Dan seperti biasa, takdir selalu bermain-main dengan hidupnya.

Saat jisung membereskan berkasnya dengan cepat dengan tangan yang gemetar, segera ia pergi dari sana dengan dalih izin ke kamar mandi. Jisung tidak mempersiapkan diri sebelumnya kalau tau ternyata rekan kerjanya adalah ayahnya sendiri. Mata mereka bertemu membuat jisung makin sesak saat melihat senyum dari orang yang menghancurkan hidupnya

Jisung berjalan terlalu cepat menuju basement kantor, ia akan memilih berada di dalam mobil ketimbang harus melihat wajah yang membawa seluruh traumanya kembali.

“Jisung! Nak...” seseorang memanggilnya lantang. Degup jantung jisung tak karuan, ia tahu siapa pemilik suara itu, enggan menoleh dan tetap berjalan cepat. Sampai akhirnya tangannya dicekat erat dari belakang namun jisung berhasil tepis tangan pria paruh baya itu kasar. Kali ini jisung melemah, rasa takutnya membuatnya kalah apalagi saat melihat ayah

Pria itu tidak mengindahkan kelakuan kasar anaknya, ia tetap memberi senyum walau wajah anaknya terlihat benci padanya, namun ia berfikir pantas untuk mendapatkan itu

“jisung, kamu apa kabar?”

Jisung berdecih, ia tidak menjawab pertanyaan itu.

“kamu makan dengan benar kan?”

“bagaimana sekolahmu?”

Bahkan ayahnya sendiri melewatkan masa-masa itu.

“kamu anak yang pintar ya sampai mendapatkan posisi terbaik disini, ayah menerima kerjasama ini karena kamu ada disini—”

“jangan” satu kata akhirnya keluar dari mulut jisung, “jangan karena saya, anda terima kerjasama ini. Itu sama saja anda tidak menghargai usaha kantor ini”

“jisung, bagaimana hidupmu selama ini? Terjamin kan? Ayah selalu memberi pamanmu uang untuk kebutuhanmu”

“saya sama sekali tidak menerimanya, kalau anda ingin ambil semua uang itu. Silahkan datang ke paman dan ambil semuanya”

“jisung, bagaimana hidupmu?”

“Menderita. Saya menderita.” ucap jisung penuh penekanan.

“uang yang ayah beri—”

“saya sama sekali tidak butuh uang asal anda tau!” jisung menekan jari telunjuknya di depan dada ayahnya berkali-kali. “kalau benar anda ayah saya, harusnya anda tau yang saya butuhkan selama ini, itu anda!”

Jisung benar terisak disana, emosinya kalah dengan semua rasa sakit yang ia derita selama bertahun-tahun lamanya. Tidak ada yang mengerti, semua hanya menaruh luka padanya. Bertahun-tahun menjadi hari paling sialan yang jisung dapat dan bahkan ayahnya tidak pernah ada disampingnya saat itu, menemani masa-masa penyembuhan dirinya sendiri. Memang bajingan

Ayahnya terdiam enggan berbicara banyak, matanya bergerak gelisah dan jisung hanya tertawa sinis menanggapinya.

“bahkan tidak ada kata maaf dari mulut anda”