Rumah yang tidak pernah abadi

Tempat Pulang yang paling nyaman adalah bahunya. Bersandar ketika lelah meliputi, menangis ketika sedih menghampiri dan ia dengan sukarela berbagi tempat untuk sekedar berbagi cerita tentang hari ini. Laki-laki itu menjadi salah satu bagian kesukaanku dari seribu hal yang kusukai lainnya, semua hal yang ada di laki-laki itu adalah apa yang selalu ku sanjungi. Entah cara berpakaian, berbicara, mendengar, berpendapat, berpikir atau bahkan hal kecil yaitu bagaimana ia tertawa.

Sudah ku bilang, kan. Semua hal yang ada di laki-laki itu kesukaanku.

Jatuh cinta memang seunik ini ya? Aku ini baru merasakan cinta yang sebegini dalamnya untuk manusia karena biasanya hanya pada kucing saja. Bahkan cara ia menatap semua lampu-lampu jalanan kota Jakarta dengan sebungkus siomay di genggamannya menjadi menarik pandanganku. kalian begini ga sih? Atau hanya aku yang lebay.

Namanya itu Jinandra Dwiputra Dananjaya. Tapi kita panggil saja Jinan ya, laki-laki dengan 1001 keajaiban di tangannya dan isi kepalanya. Semua orang yang baru pertama mengenalnya itu akan menganggap manusia itu terlalu cuek dan tidak peduli, acuh serta galak! Dia itu memang galak sih, dari matanya saja sudah kelihatan apalagi kalau sedang serius pasti langsung ciut. Perihal bagaimana aku jatuh cinta dengan manusia aneh itu adalah yang seperti ku katakan tadi, jatuh cinta memang membuatnya nampak sempurna karena perasaan itu sengaja diciptakan seapik itu.

Aku Kala Geoputra Adhyaksa, kalau kalian ingin tau, Jinan biasa memanggilku Lala katanya supaya lebih akrab, tapi sayangnya aku benci panggilan itu karena terkesan terlalu cewek. Ya, manusia yang satu ini ku akui sangat payah dalam jatuh cinta karena kelewat tolol kalau sudah berurusan dengan perasaan itu. Makanya, kadang takut juga kalau merasakan lagi. Tapi, perasaan jatuh cinta dengan Jinan aku merasa menjadi manusia terhebat sepanjang masa.

Laki-laki itu paket lengkap. Aku suka. Aku suka dia, iya aku jatuh cinta dengan manusia itu.

“Jinan, terimakasih sudah jadi tempat pulangku” kataku. Saat itu sedang hujan dan kita berdua sedang berteduh di depan toko yang sudah tutup. Badan kita berdua sudah basah kuyup karena Jinan lupa membawa mantel. Kita habis dari taman karena aku sedang dirudung duka yang mendalam dan Jinsn selalu menawari tempat bersandar.

Mendengar penuturanku, Jinan hanya menoleh lalu tertawa keras. Entah apa artinya padahal aku juga sedang tidak melawak, “jangan”

Aku menaikkan satu alis, bingung, “jangan apa?”

“jangan anggep gue rumah soalnya gue bisa pergi kapan aja” katanya begitu, maniknya menatapku lekat tapi senyum manisnya masih tertera di wajahnya. Aku masih bingung tapi aku memilih menikmati senyum itu ketimbang memikirkan soal perkataannya.

“kala... ” untuk pertama kalinya, ia memanggilku selengkap itu. “memang manusia bisa dijadikan rumah? Lo ga takut gue pergi tiba-tiba?”

Pertanyaan bodoh apalagi itu. Aku hanya terdiam tak menanggapi apalagi saat jaket tebal Jinan tiba-tiba melingkup punggungku. Jinan tersenyum lalu menghidupkan rokoknya. Aku masih terdiam.

“lo naruh ekspetasi seindah apa sih buat gue, la? Gue ini manusia loh”

Aku masih terdiam, enggan menjawab.

“jangan ya la, nanti kecewa”

Aku mengepalkan tanganku sambil memegang erat jaket jeans miliknya. Berusaha menahan isak tangis padahal mata sudah berkaca ingin menangis.

“kalau soal tempat pulang jangan berharap ke manusia lain la, lo tau semua orang yang hadir di hidup lo bakalan pergi satu-satu...”

Jinan merentangkan tangannya, mungkin untuk memeriksa apa hujan masih sederas tadi. Ia mengangguk kecil lalu menoleh lagi ke arahku yang asik melihat gerak-geriknya. Untung saja poni rambut ini panjang untuk menutupi aku yang ternyata tak bisa membendung tangis.

Jinan tidak sadar. Ia membuang rokoknya ke tanah dan tak lupa juga menginjaknya lalu mengambil helm yang awalnya ditaruh disampingku lalu memasangnya tepat di kepalaku, ternyata hujan sudah reda para pengendara yang tadi berteduh juga cepat-cepat menekan gas agar tidak terjebak lagi.

Hujan berhenti menutupi tangisanku.

”... Jalan pulang yang paling setia itu diri lo sendiri. Gue cuman tempat singgah yang kebetulan buat lo terlalu nyaman”

Benar ya katanya Jinan, apa aku terlalu nyaman? Tapi apa bisa kita bertahan sedikit lebih lama narendra? Aku belum sesempurna Jinan untuk bisa disebut tempat pulang

“Jinan, kita pulang ya”

“iya la, maaf ya... ” katanya, dan motornya dibuat melaju sepelan mungkin padahal pengendara lain berusaha melajukan motornya dengan cepat.

Setelah kata maaf itu terucap, aku sadar akan realita pahit yang sudah menghancurkan ekspetasi manis.

Jinan itu manusia dan manusia tidak ada yang sempurna. Aku terlalu jatuh cinta, ya? Aku memang bodoh untuk urusan perasaan, tebak siapa yang baru saja menerima realita patah hati? Iya itu aku, kala.

“Jinan, kita bisa ketemu besok?”

“bisa, seperti biasa la”

Tidak akan pernah ada yang abadi kalau manusia disebut rumah, karena hukum alam perihal hadir dan pergi itu masih berlaku. Karena jalan pulang yang paling setia dan abadi itu diri sendiri