rereeeee

PLAK!

“kamu selalu mempermalukan saya”

PLAK!

“bisa-bisanya kamu nyakitin chenle atas dasar emosi! Kamu buat anak saya menderita”

Dua tamparan itu tepat mengenai kedua pipi sungchan, tamparan telak dari tangan kasar ayah tirinya. Sungchan tidak bergeming sama sekali, ia hanya menunduk dan mencoba menahan segala emosinya mendengar semua kata-kata yang dilontarkan manusia sialan itu terhadap dirinya, dan lebih sialannya bundanya hanya berdiri tepat dibelakang ayahnya menatapnya bengis dengan senyuman yang selalu dibenci sungchan.

“tangan kamu kasar juga ya, sungchan” bunda hanya menyahut seperti itu. Tidak membantu sama sekali, malah semakin memperkeruh suasana.

“ayah akan batalkan perjodohan kalian!”

Sungchan sontak menaikkan wajahnya, menatap ayahnya terkejut sekaligus marah. Apa-apaan si orangtua ini, seenaknya!

“ayah—”

“kamu diam! Saya tidak butuh pendapat orang bajingan” ayahnya memberikan telunjuknya dengan tegas, sambil satu tangannya ia gunakan untuk menelpon seseorang. Sungchan beralih pandang ke arah bundanya yang sama terkejutnya.

“sayang, jangan ambil keputusan terlalu cepat— maksudnya, soal perjodohan tidak usah dibatalkan” kini bunda berusaha membujuk. Sungchan mengerutkan dahinya, padahal sedari tadi bundanya itu tidak membelanya sama sekali tapi entah kenapa malah sekarang bersikap sok manis agar perjodohannya tidak dibatalkan.

Ayahnya mendadak terdiam dan bundanya terlihat tersenyum miring.

Ada yang aneh, pikir sungchan.

“urus anakmu itu!”

“iya sayang, pikirkan baik-baik ya” ucap bunda. Setelah selesai meredakan emosi ayahnya, sungchan ditarik kasar oleh bundanya keluar dari ruangan ayahnya. Terlalu kasar sampai pegelangan tangannya sakit terkena kuku tajam bundanya, bahkan bundanya sendiri tidak paham.

Setelah jauh dari ruangan tempatnya disidang, bunda menatapnya sinis. Kadang sungchan bertanya kenapa bundanya selalu begini terhadapnya, anaknya sendiri?

“denger bunda anak nakal”

Sebutan itu seperti sudah tersemat selamanya untuk sungchan. Dan alpha itu hanya diam dan menerima, seperti boneka.

“jaga sikap! Tahan emosi kamu ke chenle”

“bun, aku udah coba tapi ya chenle sama sekali gak bisa buka hati”

“usaha! Apa kamu gak bisa usaha sedikit untuk mempertahankan ini semua?”

Bunda mencengkram lengannya dengan kuku panjangnya itu. Usaha, usaha, usaha bunda selalu berucap begitu kalau sungchan sedang gagal dan lelah. Ambisi bunda terlalu kejam untuknya.

“kalau pertunangan kamu sampai dibatalkan, perusahaan kita gak akan dapet dana besar dari perusahaan papanya chenle, kamu ngerti gak? Setelah kamu menikah, kamu bebas memperlakukan chenle sesuka hati kamu”

Sungchan membulatkan matanya terkejut mendengar fakta dari alasan mereka dijodohkan seperti ini, membuat sungchan mengemis segala perasaan semu yang tidak akan bisa ia gapai, berusaha keras untuk mendapatkan perhatian cinta pertamanya dan alasan bundanya menjodohkan mereka hanya uang.

”... Tolong tahan diri kamu, jadi berguna untuk ayah dan bunda”

Berguna apa? jadi perantara uang?

Sungchan menghempaskan genggaman bundanya yang menyakitkan, sisi alphanya mulai perlahan ikut andil tapi bundanya sama sekali tidak menyadarinya.

“alasan perjodohanku itu cuman karena dana? Bukan karena aku cerita kalau chenle itu cinta perta—”

“percaya apa kamu sama cinta? Apa bukti cinta yang kamu punya? Dunia ini gak butuh cinta buat bertahan hidup, contohnya ayah tiri kamu yang rela ninggalin omeganya sampai mati karena milih bunda yang kaya”

Bundanya sejahat dan selicik ini?

Sungchan terdiam. Pertanyaan bunda soal bukti cinta apa yang ia punya pun ia tidak bisa menjawab apa-apa, karena bahkan ia tidak pernah merasakannya dari siapapun termasuk dari bundanya sendiri. Ia terbiasa hidup dengan kekayaan dan kesempurnaan hidup tapi bahkan alpha itu tidak bahagia.

Sungchan tidak pernah cukup bagi orang-orang yang ia sayangi

Sekarang, apa rencana berikutnya?

“lo kok dianter pulang malah ngambek sih, le?” kata aji, sementara yang ditanya hanya diam saja sambil membuka sepatu sekolahnya untuk ditaruh di depan pintu rumahnya.

“ale, jawab dong” aji masih berusaha membujuk tapi ale tetap mengabaikannya, sampai ia berinisiatif untuk turun dari sepedanya lalu menghampiri laki-laki manis itu yang melengos masuk bahkan tanpa senyum dan ucapan terima kasih seperti biasa.

“ck! Kamu itu selalu begini, aku gak suka kamu kayak gini tau gak!” ale berdecak kesal, kini wajah manisnya memang sedang menunjukkan kesal.

“gimana apanya ale? gue kan cuman nganter lo pulang, salah?”

“salah!”

Loh kok?

“kamu itu jangan selalu mentingin aku, karena aku gak suka!”

“kenapa... maksudnya kenapa gak suka ale? gue niatnya baik loh”

Ale memegang kedua pundak aji lalu menepuknya agak keras beberapa kali, “aku temen kamu ajiii, aku gak mau jadi beban kamu terus. Berat kan? kamu bisa bilang enggak ke aku dan aku bakalan ngertiin itu”

Aji menepatkan kata-katanya tadi, soal akan menemani ale ke uks untuk melakukan hal yang tidak penting— katanya cuman mau rebahan aja. Padahal materi yang sedang dibahas guru dikelasnya adalah materi yang sangat penting untuk ujian akhir tapi untuk masa depan, apa sih yang enggak?

Dengan alasan mual dan pusing ia ijin untuk beristirahat di uks, untung saja guru yang sedang mengajar tidak banyak bicara selain berkata “silahkan”, aji memang beruntung saat ini, rencana bolosnya berjalan lancar.

Kini, ia sedang berdiri di depan pintu kelas 12 MIPA 2 yang tertutup karena anak-anak kelasnya sedang menonton film sesuai informasi yang di dapatnya dari ale. Diketuknya pelan pintu tersebut dan seorang perempuan berambut pendek lantas membuka sedikit pintu kelas sambil menghela lega.

“cari siapa?”

“ale”

“atas nama?”

“aji”

Perempuan itu tersenyum miring yang penuh arti lalu membuka seluruh pintu kelas, menampilkan postur tubuh aji yang sedang berdiri disana, semua pasang mata melihatnya bingung bahkan film yang tersetel tidak di perhatikan lagi.

“ale ale, dicari pacarnya nih!” teriak perempuan tadi, membuat aji seakan ingin menutup wajahnya sekarang juga saat satu kelas meneriaki mereka— ia dengan ale.

“cieee ale udah besar, cie cie!” begitulah isi suara riuh satu kelas, ale mencibir dan berjalan cepat sambil menghentakkan kakinya kecil menuju aji yang berdiri kaku dengan wajah memerah seperti kepiting rebus.

“DIEM GA?!” ucap ale kencang. Wajahnya juga memerah karena malu diteriaki satu kelas seperti itu dan sekarang mereka puas menertawakan wajahnya yang memerah saat memegang tangan aji. “win, aku ijin ke uks aja ya. Tugas aku udah selesai kok nanti istirahat pertama aku balik lagi”

“mau pacaran ya le?” tanya perempuan tadi yang dikenal ale sebagai wina, sekretaris kelas yang kelakuannya suka mengundang riuh kelas. Contohnya seperti tadi itu!

“ENGGAK! aku sama aji itu temen dari kecil tau, enggak usah ngira aneh-aneh deh!” ale menarik tangan aji cepat untuk meninggalkan kelasnya. Ia benar-benar malu saat ini, kenapa juga aji tidak chat saja daripada mengetuk pintu kelas? Ah! ale jadi sebel sendiri.

“sakit le”

Ale sontak melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan aji. Raut wajahnya mendadak berubah menjadi khawatir, “m-maaf” ucapnya pelan, aji yang tau kalau ale sedang dipuncak kekesalannya beralih memberi headpats di kepala si manis.

pat

pat

pat

“masih kesel ya?” tanya aji yang langsung diberi anggukan kecil oleh si manis, wajahnya masih memerah juga alis yang tertekuk. AJI GEMAS SENDIRI. Aji sedikit berdehem, menarik tangannya lalu beralih mengenggam tangan ale cepat ke arah uks sebelum mereka kepergok oleh para guru.


Pintu berhasil dibuka oleh si ketua osis— kalau kalian tanya siapa? Ya tentu saja aji anggara putra, beruntungnya ale mempunyai koneksi sebesar itu disekolah.

Ale berlari kecil ke arah kasur kecil di uks, menidurkan dirinya disana lalu disebelahnya juga ada aji yang ikut merebahkan dirinya. Mereka saling tertawa, saling melempar canda juga cerita-cerita ringan dari aji.

Sampai sunyi hadir diantara mereka. Tidak ada lagi yang saling menyahut maupun tertawa lagi. Mereka hanyut dalam pikiran masing-masing. Aji berdehem kecil dan berniat membalikkan badannya ke arah ale namun betapa terkejutnya ketua osis itu saat melihat ternyata ale sudah memusatkan atensinya padanya duluan.

“ALE! gue kaget” ucap aji sedikit teriak sambil memegang dadanya, tatapan ale ini tidak baik untuk kesehatan jantungnya.

Ale yang tidak merasa bersalah hanya tertawa kecil, “kenapa kaget?”

“ya... kaget diliatin kayak gitu”

ale mengangguk kecil lalu beralih duduk dipinggiran kasur tanpa melepas pandangannya dari aji, “aji kamu beda banget ya mukanya sekarang”

“beda gimana?”

“makin ganteng”

ANJINGGGGG, GUE MELELEH KAYAK MOJARELA ucap aji dalam hati, namun ia pintar menyembunyikan rasa saltingnya.

“kamu tau gak kalau aku takut kita semakin besar” kata ale, pandangannya masih tertuju pada aji yang mendadak menatapnya serius, terlalu serius sampai ale ingin tertawa kencang sekarang.

“kenapa?”

“aku takut kamu ninggalin aku, soalnya aku sayang banget sama aji”

“sayang? Kenapa sayang aji?” entah kenapa pertanyaan yang diajukan aji terkesan mendesak, meminta sebuah jawaban yang ia bayangkan selama beberapa tahun ini soal perasaannya yang mungkin saja terbalas

“aji temen ale, lah!”

atau mungkin juga tidak.

Ale buru-buru mengunci kamar kostnya saat mengetahui driver ojek online ternyata sudah menunggunya di depan gerbang. Berlari kecil ke arah abang ojeknya dengan senyuman manis yang tertutup masker.

“maaf kak”

“eh sebentar kak” si abang ojeknya merogoh saku jaketnya, membuat ale dengan segala ke-kepoannya sedikit mengintip, ternyata secarik kertas yang dilipat agak sedikit tidak rapi diberikan ke ale yang menatapnya bingung, “nih, buat kakak katanya, bacanya sambil jalan aja ya”

Ale naik ke jok belakang dan motor segera melaju meninggalkan kostannya. Dibalik masker putih yang terpasang, seulas senyuman kembali terukir, ale mengenggam erat kertas yang diberikan oleh driver ojek online tadi. Membukanya perlahan takut angin membawanya pergi sebelum terbaca.

Senyuman semakin mengembang bahkan matanya ikut menyipit kelewat senang, bunga dan kupu-kupu seakan membuat taman di hatinya saat membaca isi kertasnya. Hangat, selalu. Juan selalu begini.

“AAAAAHH, GUE BISA GILA!” teriaknya, supaya semua orang tau kalau pacaran sama juan itu bikin hilang waras!

Ale buru-buru mengunci kamar kostnya saat mengetahui driver ojek online ternyata sudah menunggunya di depan gerbang. Berlari kecil ke arah abang ojeknya dengan senyuman manis yang tertutup masker.

“maaf kak”

“eh sebentar kak” si abang ojeknya merogoh saku jaketnya, membuat ale dengan segala ke-kepoannya sedikit mengintip, ternyata secarik kertas yang dilipat agak sedikit tidak rapi diberikan ke ale yang menatapnya bingung, “nih, buat kakak katanya, bacanya sambil jalan aja ya”

Ale naik ke jok belakang dan motor segera melaju meninggalkan kostannya. Dibalik masker putih yang terpasang, seulas senyuman kembali terukir, ale mengenggam erat kertas yang diberikan oleh driver ojek online tadi. Membukanya perlahan takut angin membawanya pergi sebelum terbaca.

Senyuman semakin mengembang bahkan matanya ikut menyipit kelewat senang, bunga dan kupu-kupu seakan membuat taman di hatinya saat membaca isi kertasnya. Hangat, selalu. Juan selalu begini.

“AAAAAHH, GUE BISA GILA!” teriaknya, supaya semua orang tau kalau pacaran sama juan itu bikin hilang waras!

“le, lo pake pelet apa sih sampe punya pacar kayak juan” tanya salah satu temannya, hampir setiap hari sih ale dapat pertanyaan yang sama seperti ini. Memang harus dijawab apa yang kayak begini?

“pelet ikan”

Sekarang pukul 11 malam dan jisung sedang berjalan tergesa di lorong rumah sakit tempat chenle sering berkonsultasi dengan dokternya. Saat bu rina— dokter kandungan chenle menghubunginya kalau chenle masuk rumah sakit dengan kondisi kritis tanpa basa-basi ia segera melajukan motornya ke rumah sakit.

Ia sampai tepat diruangan tempat chenle sedang diperiksa. Di ruang tunggu ada dua orang yang dibencinya sedang duduk dengan wajah panik. Dengan cepat jisung bawa langkahnya ke arah sungchan, menarik kerah bajunya dan memukulnya tepat di bagian wajah. Terlalu keras sampai wajah sasarannya itu mendadak membiru.

“LO BANGSAT!” jisung berteriak kencang, ia tidak peduli dengan tatapan semua orang di lorong itu. Tidak ada yang berani mendekat saat seorang alpha tengah dilanda emosi yang memuncak.

“BAJINGAN! LO APAIN CHENLE? LO APAIN, SETAN?!”

Kalimat sarkas terdengar terus menerus keluar dari mulut jisung. Ia sudah kepalang emosi apalagi saat melihat sungchan hanya diam sambil memegang wajahnya yang membiru. Rasanya jisung ingin menghancurkan wajah itu tak bersisa. Tapi niatnya diurung saat para keamanan datang dan menahan tubuhnya.

“kalau sampe chenle sama anak gue kenapa-napa, LO MATI DI TANGAN GUE, INGET ANJING!”

Tepat di kalimat terakhir jisung, bu rina keluar dari ruang pemeriksaan. Wajahnya tidak menunjukkan hal baik dan jisung mulai khawatir.

“dokter, dokter gimana keadaan chenle?”

Bu rina menghela nafas kecil, ia menoleh ke arah jisung yang berwajah sangat panik sekaligus khawatir, terlalu kentara kalau ditebak. Wanita itu tersenyum kecil sambil melepas kacamatanya, menaruhnya disaku jas putih dokternya.

“gapapa. Kondisi chenle sudah baik-baik aja” ucapnya singkat membuat sejenak jisung lega. Alpha itu mengelus dadanya yang sedari tadi berdegup kencang tak karuan.

”... Tapi chenle harus rawat inap di rumah sakit karena kondisi yang belum stabil, saya harus sering periksa dia”

“iya dokter”

“jisung, saya sudah sering bilang kalau kehamilan chenle ini baru buat dia dan sangat rentan untuk si calon bayi. Emosi chenle tolong dijaga jangan sampai stress itu berpengaruh ke tekanan darahnya” ucap rina, matanya terlihat lelah berkali-kali mengatakan ini, mengingat pemeriksaan beberapa bulan yang lalu chenle nyaris kehilangan anaknya karena faktor stress yang berlebihan.

“maaf dokter”

“baik, saya permisi”

Jisung terduduk lemas di ruang tunggu, menutup wajahnya dengan kedua tangannya lalu mengusapnya kasar. Pikirannya kacau malam ini tapi sialannya dua orang itu sama sekali tidak beranjak pergi membuat suasana hatinya makin runyam saja.

“lo pada kalau ga ada kepentingan, pulang aja!”

Awalnya sungchan enggan menanggapi namun saat ayahnya menarik lengannya kencang sambil menatapnya sinis, ia lebih memilih pergi mengikuti ayahnya. Hanya ada shotaro disana, ia melihat chenle dari kaca pintu ruangan tempat chenle di rawat. Omega itu terbaring tidak sadarkan diri dengan infus yang terpasang di tangannya. Baru tadi siang chenle mengajaknya menjadi teman tapi hal seperti ini terjadi. Shotaro jadi merasa bersalah karena tidak bisa membantu apapun.

“lo ga pulang?” jisung menatap shotaro yang terlihat terkejut dengan suaranya. Beta itu menunduk lalu mengangguk patah-patah. Takut jadi bahan amuk jisung.

“i-iya, ini gue mau pulang”

“lo siapanya chenle?”

“pemban—” ada jeda beberapa saat dari shotaro, ia berfikir soal percakapannya tadi siang dengan chenle. Baru saja tadi siang omega itu mengajaknya berteman ketimbang menjadi rival. Shotaro mengangkat kepalanya sedikit, namun enggan melihat jisung. Suaranya mengecil tapi masih bisa terdengar jelas

“—gue temennya”

Jisung mengangguk kecil, tidak peduli dengan keberadaan shotaro yang nasih berdiri disana ia segera masuk ke dalam ruangan chenle.

Pandangan yang pertama ia liat adalah omeganya yang masih lelap, entah tidur atau pingsan. Ia bawa langkahnya menuju chenle, menatapnya dengan banyak rasa bersalah. Ia rindu tapi bukan seperti ini pertemuan yang ia mau.

“chenle...”

Tidak ada pergerakan, jisung memilih duduk di kursi samping chenle. Tangannya tak lepas mengenggam tangan omeganya, semakin erat, berharap rasa rindunya tersalurkan lewat itu.

“sebulan penuh tanpa lo ternyata sesusah itu ya le”

Jisung bawa tangan besarnya untuk mengusap rambut chenle pelan, memberikan nyaman seperti dulu, mungkin ia juga merindukannya.

“jiel makasih udah mau bertahan ya” bisik jisung dan kecupan kecil mampir di perut chenle, sebelum akhirnya ia memilih keluar dari ruangan tersebut. Bisa bahaya kalau chenle tau ternyata ia yang disana, seperti kata dokter tadi soal emosi chenle.

Jisung duduk di ruang tunggu depan ruangan, menatap kosong pintu ruangan tadi, ia sadar akan sesuatu.

Anaknya bisa bertahan sama seperti dirinya yang memilih tetap hidup sebulan yang lalu

Hari-hari menyedihkan itu terlewati dengan segala rindu yang tak tersampaikan. Satu bulan sudah patah hati mereka, apa masih ada harapan di celah kekacauan? Apa masih tumbuh perasaan ditengah kekecewaan? Jawabannya masih abu karena pemainnya tak kunjung temu

the days have turned to month and the situation is even more chaotic, can they fix everything?

Suara jam dinding disana menandakan selama apa dirinya pingsan setelah kejadian berisik tadi. Tepatnya tiga jam lamanya karena jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Jisung mengedar pandangannya ke seluruh penjuru kamarnya lalu menghela nafas pelan, ia masih hidup ternyata.

Seseorang membuka pintu kamarnya, mereka saling tatap namun diputus sepihak olehnya langsung— itu jaemin. Wajahnya suntuk, pakaian kerjanya masih menempel di tubuhnya walaupun jasnya sudah dilepaskan, alpha itu membawa nampan berisi makanan hasil masakan suaminya.

“lo udah bangun? Makan dulu sini...” suara jaemin memelan walaupun berbanding terbalik dengan raut wajahnya yang menyeramkan. Jisung dibantu duduk olehnya lalu diberikan semangkuk sop hangat.

Jaemin duduk disebelahnya, menatapnya yang sedang memakan makanannya. Jujur, jisung risih tapi ia tidak ingin berucap banyak hal. Mereka jadi saling diam selama jisung makan sampai habis pun tidak ada yang mulai percakapan, jaemin menatapnya terus bahkan jarang berkedip.

“apa sih?” tanya jisung, jaemin menghela nafas lalu tersenyum kecil.

“tadi... Waktu ada rapat di kantor, renjun telpon padahal gue udah bilang sama dia kalau jangan ganggu dulu sebentar”

Jisung mendengarnya tanpa memutus pandangan, apa yang terjadi tadi?

“gue udah mau marah sama dia tapi ternyata tangisannya itu buat gue ngerti kalau ada yang ga beres dan bener adanya”

“gue minta maaf”

Jaemin menggeleng pelan sambil mengusap pelan kepala adiknya itu, dadanya jadi sesak sendiri, rasanya seperti deja vu.

“enggak, maksud gue itu cuman rapat antar karyawan. Itu ga sepenting nyawa lo, waktu pulang bareng jeno tadi tuh gue buru-buru naik kesini... ” jaemin nunduk, kini ia benar-benar kalah dengan rasa sakitnya. Isakan kecil mulai terdengar dan jisung masih terdiam dengan posisi yang sama— mendengarkan jaemin.

“gue liat lo udah pingsan disini, gue kira awalnya lo pingsan tapi setelah dicek ternyata denyut nadi lo ga berdetak jisung! Kenapa jisung, kenapa mau ngulang kejadian itu lagi?”

Kenapa?

Jisung juga ga tau pasti alasannya

“gue ga tau kalau ternyata tadi gue mati, yang gue tau gue capek terus yaudah tidur”

“kenapa lo ngelakuin itu lagi jisung?”

“gue cuman capek, gue mau tidur”

Jaemin menunduk, memijat dahinya sendiri karena jujur rasanya pusing sekali mendengar jawaban jisung yang sama sekali tidak menjawab apapun. Ini kali kedua ia melakukannya tanpa sadar dan yang satu ini benar-benar nyaris membuatnya mati.

“jisung” panggil jaemin, alpha itu lelah sekali. Mengurus kehidupan adiknya yang berantakan, kantornya, keluarga kecilnya juga. Bahkan ia tak sempat memikirkan diri sendiri karena ini.

“apa?”

“kenapa?”

“gapapa” jawaban singkat namun tak menyelesaikan masalah.

“terserah anjing! Lo gak pernah mau bersyukur sama apa yang lo punya” jaemin pergi dengan emosi yang mengepul di kepala, keluar dengan tidak santai sampai membanting pintu kamar jisung keras. Jisung tak merespon, semua orang akan selalu berakhir meninggalkannya seperti itu, ya sudah biasa juga, tidak ada yang bertahan dengan kondisinya.

Bersyukur apa... Atas semua penderitannya? Berisik.

Jisung menatap kosong ke arah jaemin yang menghilang di balik pintu. Ya, siapa juga yang mau bertahan dengan manusia yang sudah hancur berantakan sepertinya? Bahkan keluarganya pun meninggalkannya. Kalau dipikir-pikir, ternyata hidupnya memang menyedihkan ya.

Air mata jatuh lagi dari pelupuk matanya. Kali ini alpha itu memang melemah entah karena rasa sakit yang mana. Ia terus menerus menangis, padahal baru bernafas tapi dicekik kembali. Harus bertahan atau berhenti sekalian? Otaknya terus menerus mendengungkan pertanyaan itu.

Capek bunda

Gatau capeknya kenapa

Boleh ikut bunda sekarang ya?

“Jisung!” seseorang memanggilnya terburu, laki-laki beta itu masuk tanpa disuruh. Yang pertama ia lihat adalah meja yang berantakan serta mangkuk yang di lempar hingga pecah di ujung sana. “lo kenapa?”

Jisung menatap seluruh penjuru kamarnya, ia bahkan tak ingat kenapa ia membanting mangkuk sampai pecah disana.

“m-maaf, gue gatau kalau udah bikin kacau”

Renjun menghela nafas sambil menahan tangisnya agar tidak pecah, jujur baru pertama kali ia lihat alpha sombong ini lemah. Ia menghampiri jisung lalu tanpa pikir panjang memeluknya erat.

“jisung jangan kayak gini lagi, Lo harus bertahan sedikit lebih lama ya?”

Bertahan sedikit lebih lama, ya

Bertahan lagi?

“berapa lama lagi?” jisung bertanya, matanya mendadak menajam membuat aura disekitarnya mencekik. Sisi alphanya keluar karena emosi lagi apa mungkin karena lelah juga

jisung lelah menunggu penderitaan ini, bagai tanpa ujung dan tanpa akhir. Kapan kita bertemu selesai lalu bahagia?

“setidaknya sampai jiel lahir—”

“kenapa gue harus?!”

“karena lo papanya!” renjun melepaskan pelukannya sepihak, melihat raut wajah lelah dengan mata alpha yang membulat.

“gue bukan—”

“Iya, itu lo”

Jisung berdiri dari tidurnya, ia lempar semua bantalnya ke asal arah, amarah menguasainya sepenuhnya dan masa lalu itu bak perlahan membunuhnya, masa lalu yang ingin jisung buang semuanya.

“gue manusia brengsek, gue sialan, gue manusia bangsat yang kayak apa yang dibilang semua orang. Semua salah jisung, katanya semua salah gue. Jisung cuman masalah, buang aja! itu kata orang-orang yang gue... sayang” jisung menangis, kali ini lebih kencang dari kemarin saat perpisahannya dengan chenle. Kali ini rasanya lebih sesak, mengingat hal yang menyakitkan memang rasanya seperti mati. Ia bahkan tidak sadar berteriak soal perasaannya pada renjun yang hanya diam termangu di dekat pintu melihatnya hancur.

“lo tau rasanya ditinggalkan? Dibuang kayak sampah! Disepanjang hidup, gue harus ngerasain sakitnya ditinggalkan itu berulang kali sampai rasanya takut, sampai mati rasa”

“jisung...”

“apa bangsat?! Sekarang apa lagi? Dia minta gue bersyukur atas apa gue tanya, atas semua penderitaan gue? Alpha lo emang anjing, renjun!”

Semua teriakan dan bentakan itu, semua sakitnya jeno dan jaemin dengar dari luar. Selama ini mereka salah perkiraan.

“dengerin gue—”

“gue gak mau denger apa-apa lagi, orang kayak gue gak pantes jadi manusia apalagi jadi papa. Kayak yang lo bilang... Gue brengsek, gue emang jahat udah hancurin semua mimpi chenle”

Renjun menunduk, ia biarkan sejenak emosi jisung mereda. Mereka saling diam setelah jisung ungkapkan semuanya, alpha itu memilih duduk dipinggiran kasur, diam sambil menunggu.

“jisung, tenang”

Jisung memejamkan matanya, ia menunduk dan membiarkan semua air matanya jatuh dengan semua rasa sakitnya. Jisung tenang.

“udah? Banyak masa lalu yang buat lo sampai jadi kayak gini ya ji, maaf gue gak pernah tau soal itu, maaf juga kalau abang-abang lo itu gak pernah tau soal itu dan chenle” renjun perlahan berjalan mendekat, ia taruh telapak tangan kecilnya di atas kepala jisung lalu mengusapnya pelan. Rasanya seperti menenangkan anak kecil. Kenapa rasanya begitu?

“satu-satunya hal yang harus lo lakukan adalah jujur. Bilang kalau butuh bantuan, lo manusia yang gak bakalan bisa mendem semua itu sendiri tanpa minta bantuan orang lain...”

”... Lo emang alpha. Tapi bukan berarti kekuatan lo itu bisa buat lo kuat selamanya” kata renjun.

yang harus dilakukan cuman jujur kalau lagi hancur, jujur sama perasaannya sendiri tanpa takut ditinggal

Tanpa menyanggah semua perkataan renjun, jisung balik tidur dan membalikkan tubuhnya dengan selimut yang sengaja menutupi penuh dirinya sampai kepala. Membelakangi renjun yang kini tersenyum, ternyata yakinin jisung sama seperti yakinin anak kecil. Jisung mungkin lupa bagaimana rasanya menjadi anak kecil karena dari dulu hidupnya hanyalah beban pundak.

Sebelum pergi juga renjun sempatkan membersihkan semua kekacauan yang dibuat jisung. Saat selesai ia keluar dengan menutup pintu perlahan, sedikit terkejut saat melihat dua suaminya berdiri di depan pintu dengan mata yang berkaca-kaca.

“ngapain disini?!” renjun berbisik menajam dan dua alpha di depannya hanya diam lalu memeluk dirinya erat. Dapat dirasakan kedua bahunya basah

“jisung gapapa kan? aku gak sengaja kasar— jisung gapapa kan?” tanya jaemin, raut wajahnya tertera jelas khawatir.

“harusnya aku ga bentak kayak gitu tadi di taman” sekarang jeno berbicara

Renjun tersenyum kecil lalu mengusap kepala belakang kedua suaminya, mereka mengkhawatirkan jisung sampai segininya tapi tidak pernah bisa baik dihadapannya, selalu saja terbawa emosi. Ya, jisung memang menyebalkan sih.

“Jisung gapapa, dia udah tidur jangan diganggu ya. Hari ini nginep lagi sehari ok?”