Bertahan.

Sekarang pukul 11 malam dan jisung sedang berjalan tergesa di lorong rumah sakit tempat chenle sering berkonsultasi dengan dokternya. Saat bu rina— dokter kandungan chenle menghubunginya kalau chenle masuk rumah sakit dengan kondisi kritis tanpa basa-basi ia segera melajukan motornya ke rumah sakit.

Ia sampai tepat diruangan tempat chenle sedang diperiksa. Di ruang tunggu ada dua orang yang dibencinya sedang duduk dengan wajah panik. Dengan cepat jisung bawa langkahnya ke arah sungchan, menarik kerah bajunya dan memukulnya tepat di bagian wajah. Terlalu keras sampai wajah sasarannya itu mendadak membiru.

“LO BANGSAT!” jisung berteriak kencang, ia tidak peduli dengan tatapan semua orang di lorong itu. Tidak ada yang berani mendekat saat seorang alpha tengah dilanda emosi yang memuncak.

“BAJINGAN! LO APAIN CHENLE? LO APAIN, SETAN?!”

Kalimat sarkas terdengar terus menerus keluar dari mulut jisung. Ia sudah kepalang emosi apalagi saat melihat sungchan hanya diam sambil memegang wajahnya yang membiru. Rasanya jisung ingin menghancurkan wajah itu tak bersisa. Tapi niatnya diurung saat para keamanan datang dan menahan tubuhnya.

“kalau sampe chenle sama anak gue kenapa-napa, LO MATI DI TANGAN GUE, INGET ANJING!”

Tepat di kalimat terakhir jisung, bu rina keluar dari ruang pemeriksaan. Wajahnya tidak menunjukkan hal baik dan jisung mulai khawatir.

“dokter, dokter gimana keadaan chenle?”

Bu rina menghela nafas kecil, ia menoleh ke arah jisung yang berwajah sangat panik sekaligus khawatir, terlalu kentara kalau ditebak. Wanita itu tersenyum kecil sambil melepas kacamatanya, menaruhnya disaku jas putih dokternya.

“gapapa. Kondisi chenle sudah baik-baik aja” ucapnya singkat membuat sejenak jisung lega. Alpha itu mengelus dadanya yang sedari tadi berdegup kencang tak karuan.

”... Tapi chenle harus rawat inap di rumah sakit karena kondisi yang belum stabil, saya harus sering periksa dia”

“iya dokter”

“jisung, saya sudah sering bilang kalau kehamilan chenle ini baru buat dia dan sangat rentan untuk si calon bayi. Emosi chenle tolong dijaga jangan sampai stress itu berpengaruh ke tekanan darahnya” ucap rina, matanya terlihat lelah berkali-kali mengatakan ini, mengingat pemeriksaan beberapa bulan yang lalu chenle nyaris kehilangan anaknya karena faktor stress yang berlebihan.

“maaf dokter”

“baik, saya permisi”

Jisung terduduk lemas di ruang tunggu, menutup wajahnya dengan kedua tangannya lalu mengusapnya kasar. Pikirannya kacau malam ini tapi sialannya dua orang itu sama sekali tidak beranjak pergi membuat suasana hatinya makin runyam saja.

“lo pada kalau ga ada kepentingan, pulang aja!”

Awalnya sungchan enggan menanggapi namun saat ayahnya menarik lengannya kencang sambil menatapnya sinis, ia lebih memilih pergi mengikuti ayahnya. Hanya ada shotaro disana, ia melihat chenle dari kaca pintu ruangan tempat chenle di rawat. Omega itu terbaring tidak sadarkan diri dengan infus yang terpasang di tangannya. Baru tadi siang chenle mengajaknya menjadi teman tapi hal seperti ini terjadi. Shotaro jadi merasa bersalah karena tidak bisa membantu apapun.

“lo ga pulang?” jisung menatap shotaro yang terlihat terkejut dengan suaranya. Beta itu menunduk lalu mengangguk patah-patah. Takut jadi bahan amuk jisung.

“i-iya, ini gue mau pulang”

“lo siapanya chenle?”

“pemban—” ada jeda beberapa saat dari shotaro, ia berfikir soal percakapannya tadi siang dengan chenle. Baru saja tadi siang omega itu mengajaknya berteman ketimbang menjadi rival. Shotaro mengangkat kepalanya sedikit, namun enggan melihat jisung. Suaranya mengecil tapi masih bisa terdengar jelas

“—gue temennya”

Jisung mengangguk kecil, tidak peduli dengan keberadaan shotaro yang nasih berdiri disana ia segera masuk ke dalam ruangan chenle.

Pandangan yang pertama ia liat adalah omeganya yang masih lelap, entah tidur atau pingsan. Ia bawa langkahnya menuju chenle, menatapnya dengan banyak rasa bersalah. Ia rindu tapi bukan seperti ini pertemuan yang ia mau.

“chenle...”

Tidak ada pergerakan, jisung memilih duduk di kursi samping chenle. Tangannya tak lepas mengenggam tangan omeganya, semakin erat, berharap rasa rindunya tersalurkan lewat itu.

“sebulan penuh tanpa lo ternyata sesusah itu ya le”

Jisung bawa tangan besarnya untuk mengusap rambut chenle pelan, memberikan nyaman seperti dulu, mungkin ia juga merindukannya.

“jiel makasih udah mau bertahan ya” bisik jisung dan kecupan kecil mampir di perut chenle, sebelum akhirnya ia memilih keluar dari ruangan tersebut. Bisa bahaya kalau chenle tau ternyata ia yang disana, seperti kata dokter tadi soal emosi chenle.

Jisung duduk di ruang tunggu depan ruangan, menatap kosong pintu ruangan tadi, ia sadar akan sesuatu.

Anaknya bisa bertahan sama seperti dirinya yang memilih tetap hidup sebulan yang lalu