rereeeee

sebelum masuk ke cerita, ada satu pertanyaan yang seringkali ditanyakan alpha itu pada dirinya sendiri, setiap hari, berulang kali.

Seberapa inginnya kamu menjalani hidup?

Seberapa inginnya kamu mengakhiri semunya?

alpha itu tertawa kecil menatap pantulan dirinya sendiri di cermin wastafelnya, menertawakan bagaimana pertanyaan itu hadir di kepalanya sendiri “lo gak bakalan kuat hidup penuh rasa sakit kayak gini, iya kan?”

“memang siapa yang sudi sama orang brengsek kayak lo? sadar bangsat!” monolognya, amarahnya seketika memuncak. Alpha itu tanpa sadar memukul cermin di depannya hingga pecah semuanya bahkan menyakiti dirinya sendiri namun ia tetap tidak mengindahkan, luka ditangannya tidak bisa membalas semua rasa sakit kasihnya yang dirinya sendiri lah pelaku utamanya.

darah mengalir dari tangannya, berjatuhan ke lantai kamar mandi yang penuh akan air, menghiasi lantai itu dengan warna merah akan rasa sakit. Perih rasanya kalau di deskripsikan oleh kata-kata, bukan lukanya tapi hatinya.

sungchan bingung harus memulai lagi darimana, alpha itu benar-benar kehilangan arah sekarang. Ia sering mempertanyakan apa dirinya sudah berada jauh dari tujuan sebelumnya? bahkan sampai tega menyakiti semua orang termasuk dirinya sendiri.

BRAKK!!

pintu kamar mandinya terbuka kasar, padahal seingatnya tadi terkunci atau mungkin tidak? ia tidak peduli. Sosok yang ia lihat pertama kali adalah shotaro, laki-laki itu mengatur nafasnya dengan asal tergambar jelas wajah panik disana.

“SUNGCHAN” teriaknya bahkan tanpa tau diri siapa sebenarnya yang ia teriaki.

sungchan dengan wajahnya yang basah dan kentara lelah serta tangannya yang penuh akan darah hanya menundukkan kepalanya, mencoba menahan tangisnya yang seakan berteriak ingin dikeluarkan, dadanya sangat sesak sampai rasanya sulit untuk bernafas.

“gue... gue harus apa?” suara itu terdengar parau di pendengaran shotaro. Air mata alpha itu perlahan turun, membasahi pelupuk mata dan pipinya. Kepada siapa lagi ia mengadu sedih? semua orang seakan tidak bisa dipercaya

“gue udah coba, gue yakin gue udah coba tapi kenapa gue gak pernah dapet rasa itu... rasanya dicintai itu sebenarnya sesakit ini?”


Kembali ke realita yang pahit, sedihnya tidak akan pernah dimengerti dunia. Bahkan malam yang sama dimana pikirannya sedang kacau akibat kejadian kemarin, ia harus berhadapan lagi di depan kedua orangtuanya.

Ayah tirinya berjalan kesana kemari dengan resah bahkan sampai tak segan menghancurkan segala hal yang ada di depannya.

“kamu! kamu anak brengsek!” teriak sang ayah sambil menunjuk ke arahnya terus menerus, menyalahinya lagi dan lagi.

kata-kata makian seperti itu sudah jadi makanannya setiap hari, dari ayah tirinya maupun dari bunda kandungnya sendiri.

“disuruh menjaga seorang omega saja kamu lalai, alpha macam apa kamu ini sebenarnya?” kini bunda yang memakinya.

ayah berjalan mendekat ke arahnya, mencengkram erat rahang pipinya hingga sungchan menatap lurus ke arah sang ayah. Kekuatan alpha yang sedang marah akan berkali-kali lipat, maka sungchan seharusnya tidak heran cengkraman ayahnya seakan ingin meretakkan rahangnya.

“kamu bajingan, anak yang tidak berguna sama sekali. Kamu hampir buat perusahaan saya makin hancur!”

tangan itu menghempaskan wajah sungchan dengan keras, hampir membuat dirinya terjatuh namun syukurnya meja di belakangnya menahannya agar itu tidak terjadi.

bunda terlihat memijat keningnya sendiri namun sungchan masih terlihat kebingungan dengan apa maksud ayahnya tadi, apa hubungan chenle dengan perusahaannya?

“saya yakin kejadian kemarin tidak akan berpengaruh dengan perusahaan ayah—”

“TENTU SAJA BERPENGARUH!” ayah berteriak murka.

“kamu tau apa tujuan saya dan bunda kamu menjodohkan kamu dengan omega itu? agar perusahaan kita terbantu banyak oleh perusahaan ayahnya chenle, kamu tau itu? hahaha sepertinya juga kamu tidak peduli karena yang kamu pikirkan hanya cinta, cinta, cinta”

kata-kata ayahnya itu seketika membuat sungchan terkejut, bagaimana tidak? rencana jahat macam apalagi ini, apa perasaannya seperti sebuah permainan?

sungchan berdiri menegak, raut wajahnya tidak bisa berbohong kalau ia kecewa dan marah. Sangat marah.

“Bun... saya masih berharap yang dibilang orang ini bohong”

bunda hanya terdiam dan berdecak kesal, ia memalingkan wajahnya seperti enggan melihat wajah sang anak yang terukir kecewa.

“KAMU MENGANGGAP SAYA BERBOHONG? ITU BENAR!”

sungchan beralih menatap ayah tirinya dengan amarah, genggaman tangannya terlihat jelas kalau ia sedang menahan diri agar tidak melakukan hal yang tidak diinginkan.

bunda tertawa kecil lalu berjalan ke arah sang ayah, memberi tepukan kecil pada pundak laki-laki paruh baya itu sebelum akhirnya berdiri tepat di depan sungchan, merapikan kerah baju sang anak dengan telaten, “yang dibilang ayah kamu itu benar. Kamu seharusnya bisa lebih menahan diri sayang, setelah kita dapat apa yang kita mau kamu bisa memperlakukan chenle sesukamu, hm? bukannya omega memang selemah itu, sama kan seperti mantan istrimu sayang? hahahaha” bunda tertawa kencang menatap ke arah sang ayah yang juga tertawa kecil, bundanya memang pintar membawa suasana namun sepertinya tidak untuk sungchan

tatapan bunda kembali ke arahnya, tatapan yang sangat tajam yang dimana bundanya sering berikan saat sungchan harus menuruti kemauannya, tatapan yang selalu membuatnya dipenuhi rasa takut, tatapan kebencian. Senyuman miring pun turut menghiasi bibir tipis wanita paruh baya itu, ia menepuk kecil pundak sang anak, “setelah kalian menikah nanti kamu bisa melakukan apa saja dengan chenle sayang, omega itu bergantung hidup pada alphanya, kamu bisa manfaatkan itu. Ingin diperlakukan seperti jalang pun sepertinya dia tidak masalah hahaha” bisik sang bunda yang membuat sungchan makin mengeratkan genggamannya.

Perasaannya tidak serendah itu

orang-orang dengan status beta seperti bundanya memang memiliki sifat arogan, ia merasa bahwa kekuatan alpha tidak akan berpengaruh besar pada hidupnya, padahal kenyatannya, golongan itu juga hanya manusia biasa yang juga tidak mampu mengalahkan kekuatan alpha. Dibawah alpha namun tidak setara dengan omega, begitulah status beta.

Melihat kelakuan ayah tirinya itu membuatnya berfikir bahwa yang dikatakan jisung itu benar, ayahnya memang bukan manusia. Orang-orang yang tidak pantas mendapatkan kata maaf memang nyata adanya.

sungchan menarik tangan bundanya lalu menggenggamnya erat, nyaris ingin menghancurkannya, bundanya kini sudah melewati batas kesabarannya.

Dari kecil sungchan selalu dijadikan alat oleh bundanya, boneka untuk diatur bagaimana seharusnya bersikap, menerima, dan tidak membantah. Sungchan kecil tidak pernah merasakan bagaimana rasanya dicintai karena bundanya seperti itu, mencari keuntungan untuk dirinya sendiri, merebut segala hak milik orang lain.

ayah tirinya dan bundanya memang cocok, manusia-manusia sialan.

“sungchan lepas! tangan bunda—”

“kenapa? sakit? berarti selain omega, bunda juga orang yang lemah” sungchan tertawa keras dan terdengar sarkas, sisi alphanya kini keluar membuat seluruh ruangan tertutup itu menjadi sesak karena feromon dan auranya yang seakan mencekik.

“dari dulu bun, dari dulu bunda selalu menyepelekan saya? kenapa bun? kurang puas apa hidup bunda, kekayaan? kekuasaan? atau apa? bahkan saat saya benar-benar bahagia merasakan cinta saya harus tau fakta rencana busuk seperti ini, bunda ingin apa? bunda ingin mencapai apa sih?”

sungchan menghempaskan tangan bundanya keras sama seperti yang diperlakukan ayahnya tadi pada dirinya, namun bedanya bunda sampai jatuh tersungkur ke lantai.

“SUNGCHAN!” ayahnya berteriak kencang dengan jalan yang cepat bersiap-siap memberi pukulan telak ke arah dirinya namun sayangnya ayahnya kalah cepat, lelaki paruh baya itu lah yang mendapatkan pukulan telak di wajahnya. Sungchan tidak segan-segan jika sisi alphanya menunjukkan diri.

“ternyata masih ada banyak orang tua yang tidak pantas menjadi orang tua”

Hari ini kelas sedang ditiadakan karena kebetulan dosen yang biasa mengajar sedang mengambil cuti selama seminggu, chenle membuka jendela kamar kostnya selebar mungkin, membiarkan udara pagi yang terasa makin sejuk menyapa setiap inci kulitnya, ia tersenyum senang karena pada akhirnya ia mendapatkan ketenangan sejenak dari rutinitas setiap harinya. Banyak rencana yang ingin ia kerjakan hari ini, seperti bersih-bersih atau makan diluar atau mungkin jalan-jalan sendiri mengingat hari esok ia sudah harus memulai rutinitasnya kembali.

“sarapan apa hari ini enaknya?” monolognya di depan jendelanya, sampai suara ketukan di depan kamar kosnya terdengar, chenle mengernyitkan alisnya sebentar sebelum akhirnya berjalan untuk membuka pintunya.

saat dibuka, pemandangan pertama yang ia lihat adalah sosok laki-laki jangkung dengan setelan kaos dan celana pendek, tidak terlihat biasa saja mengingat merk yang tertera disana cukup terkenal, laki-laki itu memberikan senyuman yang lebar sambil mengangkat tas plastik yang ia bawa, “pagi sayang, belum sarapan kan? aku bawain nih” katanya

chenle terdiam cukup lama, ia menatap laki-laki itu dari bawah ke atas sambil mencoba berfikir sesuatu.

oh! gue lupa gue punya pacar sekarang

“jisung? kok nggak bilang mau kesini?” chenle gelagapan, ia menggaruk lengannya yang sebenarnya tidak gatal juga, ia gugup setengah mati.

jisung ini pacarnya sekarang?

jisung— laki-laki yang ternyata adalah pacarnya sendiri hanya terkekeh kecil lalu melenggang masuk tanpa harus meminta persetujuan dari si pemilik kamar, “kenapa harus?”

“yaaaa.....” setelah menutup pintu kamar kosnya, chenle menyusul jisung yang sedang merebahkan diri di kasurnya yang agak berantakan— belum sempat ia bersihkan tadi, kan baru rencana.

“lupa ya kalau kita udah pacaran sekarang?” jisung berbisik tepat disamping telinganya saat ia mengambil duduk di bawah kasurnya.

chenle menegang, ia berdehem kecil lalu menunjukkan senyum sampai matanya juga ikut menyipit, pipinya mulai membentuk cekungan kecil seperti kumis kucing. Gemas, jisung selalu dibuat gemas dengan senyum itu.

“hehehe”

“hahaha... lucu banget sih” jisung menarik tangan chenle cukup keras agar empunya ikut naik ke atas kasurnya sendiri, dengan gerakan cepat jisung dekap erat tubuh yang meronta duluan minta dilepaskan.

“lepas ah, mau makan!” teriak chenle namun pacarnya itu malah mendekapnya makin erat.

Salah satu sifat yang baru-baru ini diketahui chenle setelah berpacaran dengan temannya ini selama hampir sebulan adalah jisung itu sebenarnya keras kepala, lebih daripada dirinya. Jadi chenle harus menggunakan tenaga ekstra saat dimana ia beradu argumen dengan jisung.

ngomong-ngomong soal pelukan tadi, jisung mulai merenggangkan pelukannya sedikit hanya untuk melihat chenle, sepintas ide gila muncul di kepalanya, ia tersenyum jahil lalu mendekati wajah chenle dengan senyum jail, “ciuman dulu baru dilepas” katanya picik, ia menggunakan kesempatan dengan baik

ya, kalian pasti udah bisa nebak wajah chenle jadi semerah apa? warna tomat matang. Wajah terkejutnya jadi semerah tomat dan jisung menyadari jelas hal itu.

“ogah, minggir nggak?!”

“nggak mau, cium dulu coba”

“jisung, minggir”

“nggak mau”

chenle menyerah, ia sedikit kesal jadi ia memilih membiarkan jisung mendekapnya makin erat. Sebenarnya tidak masalah juga kalau harus pelukan dengan jisung seharian hanya saja ia masih perlu belajar mengatur detak jantungnya yang berdebar tak karuan. Karena sekarang dadanya sangat berisik di dalam sana.

“kok diem?”

chenle hanya bisa menggelengkan kepalanya kecil dan memilih membalas pelukan sang pacar tak kalah erat. Kelakuannya membuat jisung tersenyum kecil lalu tangan besarnya memberi usapan kecil di rambut belakang chenle.

ada kurang lebih 30 menit mereka berpelukan namun yang tak ingin lepas sekarang malah chenle, ia mulai merasa nyaman dengan wangi tubuh jisung, postur tubuh yang bagus apalagi bagian dada yang lebar membuat chenle ingin mendusal terus menerus disana. Jisung definisi laki-laki nyaris sempurna bagi chenle, tak jarang ia merasa tidak pantas tapi tidak jarang juga ia menyombongkan diri kepada semua orang.

“kamu nggak laper?” chenle bertanya dengan menggumam kecil, jisung yang mendengarnya segera mengalihkan atensinya dari handphonenya ke pacarnya itu.

“laper”

“tapi aku nggak mau dilepas pelukannya”

jisung hanya mengangguk paham. Chenle itu sebenarnya manja hanya saja tertutup gengsi yang besar dan sifat yang selalu ingin mendominasi semua hal padahal ia hanya butuh sekedar afeksi. Jisung baru tau setelah berpacaran dengannya dan laki-laki itu sadar kalau ia menyukai sifat pacarnya yang satu ini.

“kalau gitu, aku makan kamu aja ya. Boleh?”

chenle mencengkram erat kaos belakang jisung, ia kehilangan kata-kata untuk menjawab pertanyaan itu.

sementara jisung dengan tiba-tiba mendorong kecil tubuh chenle sampai laki-laki yang lebih mungil darinya itu merebahkan diri dengan posisi jisung yang mengukungnya diatas.

“boleh?” tanya jisung sekali lagi, suaranya mendadak merendah, mereka baru pertama kali saling bersitatap sebegini dekat dan intimnya, atau mungkin hanya chenle yang baru pertama kali rasakan ini karena jisung tidak terlihat gugup sama sekali berbanding terbalik dengannya.

dari bawah sini, chenle bisa lihat jelas wajah pacarnya yang errr... sexy mungkin? karena astaga Ya Tuhan... jisung bisa terlihat tampan sekali dari sini. Rambutnya yang agak panjang jatuh saat menatapnya, menutup sebagian wajahnya seperti poni tapi tidak menghalangi pandangannya. Senyum yang sengaja ia ukir tipis agak miring lalu leher dan rahang yang menegas menambah kesan sempurna pada diri pacarnya.

terlalu berlebihan mungkin tapi chenle mulai bersyukur saat itu tanpa pikir panjang menerima jisung menjadi pacarnya.

Balik ke keadaan sebelumnya, tangan jisung mulai merambat naik mengelus pinggang chenle yang kaosnya sedikit terbuka tanpa melepas pandangannya dengan wajah chenle yang matanya sedikit menyayu. Sementara chenle, sedikit bergetar saat bagian sensitifnya tersentuh percuma, biasanya ia akan memukul siapapun yang berani memegang area pinggangnya tapi untuk kali ini ia hanya akan merasakannya mungkin menikmatinya.

“suka ya dipeluk?” jisung mendekat ke arah ceruk leher chenle yang wanginya jadi candu barunya, membuatnya nyaman. Chenle memejamkan matanya saat merasakan kecupan kecil disekitar lehernya.

Dua titik sensitifnya terjamah jisung tapi tubuhnya tidak bisa menolak seperti biasa.

ah iya suka... harum, kamu harum aku suka jisung” jawaban chenle membuat jisung tersenyum dan makin semangat mengerjai tubuh chenle.

tangan yang semula berada di pinggang chenle, mulai berani perlahan membuka kaos si mungil setengah badan, membiarkan kaos itu hanya berada di leher chenle saja dan bagian tubuh lainnya terekspos secara percuma, mata jisung berbinar sempurna saat melihat tubuh polos dan mulus milik pacarnya itu dengan kedua putingnya yang mencuat, berwarna merah.

telapak tangan besarnya ia bawa untuk menyentuh kedua puting yang sepertinya sudah sangat sensitif, terlihat dari hanya memegangnya saja, tubuh chenle bergetar dan empunya mengerang kecil.

ah! jisung...” chenle memegang pergelangan tangan jisung, niatnya ingin meminta pacarnya itu berhenti namun yang dilakukan malah sebaliknya, kini jari telunjuk dan jempol jisung yang mulai mencubit pelan kedua putingnya.

“enak? enak ga diginiin sayang? kamu pasti baru pertama kali ngerasain ini kan?”

chenle tidak menjawab apapun karena jawabannya sendiri pun mendadak hilang di kepalanya, jisung benar, ini pertama kali baginya. Selama pacaran dengan mantan-mantan sebelum akhirnya berpacaran dengan jisung, paling jauh dengan mereka sekedar berciuman kalau untuk selebihnya chenle tidak pernah ingin melakukannya. Tapi untuk jisung, entah mengapa ia bisa terlena sejauh ini.

“sakit ji”

“masa sih? kalau aku giniin gimana sayang?” jisung merendahkan kepalanya yang kini tepat berada di depan puting kanan si manis, ia mulai menjulurkan lidahnya dan memberi beberapa jilatan disana, memberi kecupan manis di sekitar dada dan perut chenle lalu balik melanjutkan dengan menjilat serta mengecup lagi di area puting chenle, kiri dan kanan secara bergantian.

Benar kata jisung, rasanya enak namun sedikit geli bagi chenle. Membuat chenle tanpa sadar menikmatinya.

“ahhh... ah jisung, jis— jisung” chenle mencengkram erat rambut jisung yang sedang sibuk menyusu padanya. Gerakan lidahnya yang lincah membuat tubuh chenle terangsang dengan mudahnya, pandangan jisung memejam disana seperti menikmati kelakuannya sendiri. Chenle jadi berfikir kalau ini bukanlah suatu hal yang baru bagi jisung, because he do it like a pro-player

jisung menegakkan tubuhnya. Terlihat untaian salivanya dari ujung bibirnya sepertinya memang jisung menikmati acara menyusunya tadi, laki-laki itu sempat tertawa kecil melihat kondisi chenle yang jauh dari kata waras tapi itu terlihat indah dimatanya. Jisung membuka kaosnya sendiri, menampakkan otot lengannya yang bisa dikatakan lumayan besar disana mengingat bagaimana ia sering pergi ke gym setiap dua kali seminggu dan juga lihat perut abs yang terbentuk sempurna itu, membuat bagian bawah chenle mulai menegang dan sedikit nyeri.

“take off all your clothes, babe...”

chenle hanya terdiam, masih mencerna semua kata-kata jisung, di suasana seperti ini memang otaknya jadi sedikit lebih lamban dari biasanya, bahkan membuat jisung memiringkan kepalanya seperti kebingungan. Namun tak lama dari itu, jisung memberi usapan pelan pada pipi pacarnya itu.

“let me see who is the good boy here” bisikan jisung bagai perintah, tanpa banyak bantah chenle lakukan dengan suka rela.

fuck????


kalau chenle bisa jelaskan dengan detail kondisi ia saat ini pasti ceritanya akan menjadi sangat panjang. Tepat ketika akhirnya seluruh pakaian chenle terlepas, jisung dengan kalapnya mendorong tubuh mungil itu agar terbaring kembali, menciumnya dengan tergesa dan terkesan kasar bahkan sempat membuat chenle kewalahan, namun tak lama setelah itu ciuman jisung jatuh tepat di beberapa titik sensitifnya yang membuat penisnya beberapa kali mengeluarkan precum dan pada akhirnya ciuman itu jatuh pada penisnya.

“ahh! ah jis... jisunggggg, angh! udah... aku mau pipis, lepas ahh!!” chenle membanting kepalanya sendiri ke belakang saat jisung ternyata berhasil memasukkan seluruh penisnya ke dalam mulut laki-laki itu. Bukan sesuatu yang susah bagi jisung untuk memanjakan penis milik pacarnya itu, melihat ukurannya yang lebih kecil dari miliknya, gemas sekali, jisung rasanya ingin mempermainkan chenle terus menerus.

namun pada akhirnya jisung melepas kulumannya seperti apa yang pacarnya minta, terlihat jelas untaian saliva dan precum chenle membekas di ujung bibir jisung dan cekatan lidahnya mulai membersihkan dan menelan semuanya habis.

“kenapa minta udahan? kamu belum keluar kan?”

chenle mengerang kecil, pelepasannya padahal sebentar lagi tapi jisung malah menghentikan kegiatannya. Chenle kesal tapi ini juga ia sendiri yang minta

“ah kenapa kamu turutin sih?!” ucap chenle dengan nada merajuk, jisung hanya menaikkan kedua alisnya yang berarti laki-laki itu sedang kebingungan, padahal ia sudah turuti kemauan pacarnya tapi tetap saja kena amuk. Chenle itu gengsinya besar punya pacar yang memiliki tingkat ketidakpekaan yang nyaris 100%

Chenle yang merasa masih butuh sentuhan di bagian bawahnya, jadi ia berinisiatif untuk mengangkat kedua kakinya lalu melebarkannya tepat di depan jisung, ia menjilat jari telunjuknya sendiri sebelum akhirnya memasukkan jarinya itu ke dalam lubangnya sendiri, memainkannya seperti yang biasa ia lakukan.

“ah.. ah..ah gatel banget disini, enak, ahh jisung jisung”

akalnya mungkin sudah hilang entah kemana, ia memanjakan dirinya sendiri di depan pacarnya yang hanya terdiam tanpa berniat melakukan apa-apa. Ia menatap chenle bahkan nyaris tanpa berkedip

Jisung tahan tangan chenle yang semakin brutal mengobrak-abrik lubangnya sendiri mencari kenikmatan, menarik jari itu keluar lalu memberi kecupan di punggung tangan chenle beberapa kali tanpa melepas pandangannya pada sang pacar, “aku bantuin biar makin enak” ucap jisung dengan suaranya yang memberat, kegiatan chenle tadi ia gantikan dengan dua jari yang sebelumnya sudah ia jilat agar sedikit basah, memudahkannya untuk masuk ke dalam lubang sempit chenle, sementara tangan satunya berada di sekitar leher chenle agar empunya tetap mendongak.

jisung menggempur lubang kemerahan itu tanpa ampun dengan dua jari panjangnya, menyodok lubang itu sampai beberapa kali menyentuh prostat si manis.

wajah chenle memerah, matanya beberapa kali memejam karena nikmat bahkan pelepasan pertamanya pun sudah terjadi tetapi jisung masih tetap asik menggempurnya di bawah sana. Tangan yang semula berada di area lehernya kini dengan lancangnya memberi tamparan kecil beberapa kali, menyadarkan chenle agar tetap membuka matanya hanya untuk melihat bagaimana jisung mendominasi permainan di pagi ini.

chenle sama sekali tidak merencanakan kegiatan ini sebelumnya, karena sudah terjadi mungkin rencana lainnya akan terancam batal dilakukan.

“hari ini kamu jangan kemana-mana ya, kamu disini aja bareng aku, ah! hahaha kamu cantikk banget sihhh” jisung memberi kecupan di sekitar leher dan telinganya, tidak lupa juga dengan banyak tanda kemerahan disana.

chenle sudah bisa memperkirakan kalau kegiatan panasnya bersama pacarnya akan selesai sampai sore hari nanti kalau begini.

hi

Bagaimana kehidupan sempurna menurut masing-masing orang?

pasti banyak orang memiliki definisi sendiri soal bahagia, entah dengan materi atau hanya sekedar hati. Entah dengan kekuasaan atau hanya sekedar kebersamaan. Kita hidup di dunia yang penuh akan tuntutan ini dan itu, diminta untuk selalu bersyukur tapi pada kenyatannya sulit menerima realita.

ya, hidup memang banyak menuntut sih.

berbicara soal kehidupan sempurna, mungkin jika melihat sungchan semua orang akan menilainya demikian. Sempurna. Dari kekayaan, ketampanan, kuasa dan orangtua yang tentunya lengkap. Namun itu kan yang hanya terlihat dari luar.

Mareka tidak akan tau semua luka di tubuhnya yang tertutupi baju mahal, mereka tidak akan tau soal berapa kali sungchan korbankan perasaan hingga mati rasa. Memang bahagia yang seperti apa yang diliat banyak orang tentangnya?

memangnya ia bahagia?

dunianya hancur sejak kecil, obsesi bundanya dengan kekayaan dan kekuasaan membuat alpha itu sampai hari ini berdiri dibawah kuasa bundanya. Sebagai boneka. Ditambah dengan kehadiran ayah tiri yang ternyata sifatnya sama saja dengan bundanya.

sungchan jadi mengerti, mengapa jisung bisa membenci ayah kandungnya sendiri.

dari kecil sungchan tidak tahu bagaimana rasanya mencintai bahkan dicintai, hidupnya seperti kertas kosong yang bahkan jika dicoret pun hanya menyisakan warna merah; hanya rasa sakit. Sampai suatu hari ia bertemu seorang omega di taman kanak-kanak saat itu. Omega dengan paras cantik juga tampan serta manis juga sok pemberani namun memiliki jiwa yang hangat. Sungchan bisa rasakan hanya dengan melihat senyumnya yang merekah, Omega dengan name tag zhong chenle.

Chenle. Padanya ia jatuh cinta, sejatuhnya perasaan itu sampai apapun sakit dan patahnya ia abaikan.

seorang alpha yang bahkan jika harga dirinya dikorbankan untuk omeganya ia tidak akan menolaknya. Sebesar itu rasa cinta yang seharusnya tidak tumbuh antara dirinya dan juga omega yang sudah memiliki pasangan hidup.

harusnya ia sadar diri namun perasaannya menolak sadar, cinta memang buta dan sungchan tidak akan menampik itu.

“kalian nggak akan tau! gimana... gimana rasa cinta itu membuat saya bertahan hidup” sungchan berteriak lantang kala itu, di kantor ayahnya, di depan kedua orangtuanya. alpha itu jujur perihal perasaannya yang ternyata dipermainkan juga.

“apa hidup saya tidak cukup kalian manfaatkan, tolong jangan perasaan saya! Bunda...ayah...” sungchan bersimpuh dengan kedua lututnya, memohon untuk cinta dan hidupnya yang ternyata adalah rencana licik bundanya.

“cinta itu hanya membuatmu sakit, sungchan!” bundanya mendesis sinis melihat anak satu-satunya rela menurunkan harga diri alphanya hanya untuk seorang omega.

seorang omega yang bahkan ia jodohkan untuk anaknya karena masalah bisnis. Bodoh sekali anaknya menaruh hati pada seseorang yang tidak mencintainya

“shh, menyedihkan sekali alpha sepertimu ya nak...” ayahnya menepuk pelan pucuk kepala sungchan lalu selanjutnya tertawa kecil. “sayangnya jisung tidak ingin berbaikan denganku, sayang. Kalau saja iya, kita bisa pakai jisung untuk memperlancar kerja sama dengan ayahnya chenle”

“chenle harus berbangga diri memiliki mate seperti anak kandungmu, kalau ia punya mate seperti sungchan...”

“apa jadi hidupnya?” suara tawa bunda yang terdengar sarkas serta kata-kata pedasnya membuat sungchan ciut dan hanya bisa menunduk.

ayahnya mendadak menarik rambut anak tirinya itu, sungchan dibuat mendongakkan kepala untuk melihatnya.

“disuruh menjadi seorang alpha yang baik saja tidak becus! saya sudah sering bilang soal jaga sikapmu sampai kalian menikah...”

“dan setelah itu kamu bisa bebas memperlakukan chenle sebagaimana inginnya kamu, atau mau dibuang sekalian. Terserah! yang saya mau cuman kamu bisa bersikap baik. baik. BAIK”

ini rencana licik yang dimaksud sungchan tadi. Perjodohan ini hanya sebatas kekuasaan, bukan atas sungchan yang mencintai chenle. Bahkan bundanya tidak peduli soal itu.

emosi sungchan mendadak naik, matanya berubah menjadi wujud alpha. Semua orang bebas mencacinya tapi tidak untuk cintanya.

sungchan menarik kasar tangan ayahnya, merematnya kencang tanpa ampun. Ayahnya memang seorang alpha tapi faktanya sungchan juga seorang alpha dominan.

“ayah bilang buang? segampang itu perasaan saya di mata ayah?” sungchan menghempaskan tangannya termasuk tubuh ayahnya yang juga ikut tersungkur. “saya ini bukan ayah”

“jaga omonganmu sungchan!” kini bundanya berteriak, mengundang atensi alpha itu ke arahnya. Ia tersenyum sinis, bertanya dalam hati darimana keberaniannya ini muncul?

vas bunga disampingnya kini ada di genggamannya lalu terlempar keras ke arah bundanya yang beruntungnya malah meleset. Sungchan berdecak kesal namun tubuh bundanya mendadak gemetar.

“saya benci tahu fakta ternyata saya lahir dari rahim anda”

Terkadang sungchan ingin bertanya pada setiap orang, have you ever feel loved by someone? apa setiap orang memiliki nasib yang sama sepertinya, bertahun-tahun hidup dibawah kendali bundanya dan sekarang dibawah kendali ayah tirinya. Sungchan muak, tapi tanpa mereka juga kemana sungchan akan pulang?

Malam semakin mencekik dirinya dengan rasa sakit karena tamparan keras ayah tirinya yang adalah ayah dari jisung itu. Akibat kejadian kemarin yang membuat chenle harus dirawat di rumah sakit, sungchan menjadi harus mendapatkan cacian juga tamparan keras.

iya, dia pantas mendapatkannya kan?

“disuruh menjaga seorang omega saja tidak becus!” teriak ayahnya, sungchan masih menunduk, rasa sakit pipinya masih menjalar ke seluruh permukaan wajahnya. Bukan main tamparannya, ayahnya itu juga seorang alpha.

bundanya hanya mendecih, berjalan cepat ke arahnya lalu menarik rambut sungchan hingga alpha itu mendongak, melihat bundanya dengan sinis dan bundanya tidak peduli.

“anak ini memang tidak pernah berguna kan? kalau perusahaan kita bangkrut, kamu yang saya salahkan”

“hai abel ndut”

“iyaaan”

“apaaa?”

“nggak kerja?”

“libur sayang”

Adrian itu laki-laki sibuk yang selalu menyempatkan diri meladeni sikap manja pacarnya. Kadang Abel berfikir setebal apa kesabarannya dan serendah apa egonya. Abel berbahagia dimengerti sebegitunya tapi terkadang dibenak laki-laki manis itu sering berbisik,

apa aku sudah cukup mengerti Adrian?

Kata orang cinta adalah rasa yang paling indah, banyak yang mengagung-agungkannya, padahal perasaan itu yang paling semu. iya, kan baru katanya padahal kenyataannya rafa sama sekali tidak pernah merasakan bagaimana rasanya dicintai. Tidak dari keluarganya, teman-temannya, atau bahkan dirinya sendiri. Cinta itu perasaan paling sementara, cepat matinya lalu tergantikan.

untuk sebagian keberuntungan, cinta mungkin akan menjadi abadi tapi tidak untuk selamanya menemani, pada akhirnya cerita itu akan usai.

Rafa takut memulai, takut juga mengakhiri. laki-laki yang hampir menginjak 21 tahun itu bahkan seakan sudah mati rasa untuk merasakan jatuh cinta sedalam itu—

mungkin ada pengecualian untuk Jenan, laki-laki yang ia temui saat sedang mabuk disebuah trotoar jalanan Jakarta, untuk pertama kalinya ia rasakan jatuh cinta se-mendebarkan ini.

tapi Jenan itu brengsek.

ya, terkadang cinta memang membuat orang-orang menjadi hilang akal termasuk untuk rafa.

“ahh, Jenan...” rafa mengusap kasar rambut laki-laki yang sedang sibuk menjilat putingnya, gerakan lidah yang lembut. Sangat menyiksa.

“kenapa rafa sayang?” laki-laki bernama lengkap Jenandra Gio Saputra itu mengangkat wajahnya lengkap dengan raut wajah yang tengil karena senyuman lebar seakan mengejek rafa tanpa bicara. Terkadang rafa ingin memberikan pukulan telak di wajah sok tampan itu tapi sayangnya memang benar tampan.

“buruan, gue ada kelas 30 menit lagi” rafa mendesak membuat wajah dengan senyum lebar itu berubah.

“ck, titip absen lah dulu. Gue masih pengen bareng lo nih” kini giliran jenan yang mendesak, ia memeluk tubuh rafa erat seakan tidak membiarkan laki-laki itu pergi darinya. Rafa memutar bola matanya malas, jenan kalau sedang sange memang banyak tingkah!

“iya”

wajah yang tadi mendusal di dada rafa kini terangkat untuk memamerkan senyum paling manisnya. Rafa terkadang merasa beruntung berada di dekat jenan yang bahkan para mahasiswi yang menyukai laki-laki tengil itu pun tidak bisa sedekat ini.

senyum lebar jenan memudar, ia menatap lekat wajah dengan paras cantik di depannya. Ya, walaupun rafa adalah seorang laki-laki tapi jenan terkadang suka pangling saat melihat wajahnya seperti sekarang. matanya menyayu seakan mengundang untuk berbuat lebih, wajah mereka terlalu dekat, saling berbicara lewat mata masing-masing.

kamar mandi kampus mendadak panas, sekujur tubuh rafa terbakar nafsu yang membara, tanpa banyak bicara ia tabrakan bibirnya dengan bibir jenan yang langsung disambut lembut. Sebuah ciuman yang panas walaupun jenan melakukannya dengan lembut.

Makin lama ciuman itu semakin menuntut, rafa sampai kewalahan karena tenaga jenan bukan main-main.

ciuman jenan turun perlahan ke leher lalu berakhir pada dada rafa, jenan tau titik lemah rafa yang pasti akan membuat laki-laki itu mendesah seperti jalang. Meminta lebih, lebih dan kenikmatan lebih.

“ahh! jenan jangan digigit... sakit” rafa menarik pelan rambut jenan, merengek saat jenan tidak sengaja menggigit putingnya karena gemas.

“iya maaf ya, soalnya enak banget anjing”

jenan menjauhkan tubuhnya, membiarkan laki-laki mungil itu terduduk lemas di toilet yang sudah tertutup. Pemandangan inilah yang menjadi favorit jenan akhir-akhir ini, Rafa yang kacau karena nafsu.

“buka baju lo raf, semuanya”

“jenan—”

“nggak ada tapi raf, atau mau gue robek semuanya”

“jangan, i-iya gue buka” rafa dengan tangan yang gemetar membuka seluruh pakaiannya hingga tak satu pun menempel di tubuhnya, ia sudah sepenuhnya tanpa pakaian dan inilah bagian yang ia takutkan.

terkadang jenan akan berbuat nekat atau gila kalau sudah dikawal nafsu.

jenan mendekat, ia tarik lengan rafa agar berdiri lalu mengukungnya di pintu kamar mandi yang telah ia kunci rapat. Pandangannya tidak berubah sedari tadi ia menatap Rafa— selalu memuja. Semua yang ada di rafa adalah anugerah terindah yang akan selalu menjadi miliknya.

“cantik nanti desahnya yang keras ya. teriakin nama gue sekenceng mungkin sampe semua orang bisa denger kalau rafa sekarang jalangnya jenan” pandangan jenan menggelap, rafa bisa rasakan tatapan intimidasi dari jenan walaupun sebenarnya laki-laki itu tengah dikuasai nafsu. Mungkin ini yang jadi daya tarik dari seorang jenan sampai semua orang selalu tunduk di hadapannya.

melihat rafa yang tidak menjawab kata-katanya, jenan sontak mencengkram kedua pipi rafa cukup keras, “paham?”

rafa takut tapi juga tertantang.

“iya, paham jenan”

kalimat terakhir rafa menjadi izin untuk jenan melakukan sesuka hati pada tubuhnya. Tanpa banyak bicara lagi, jenan balik tubuh rafa lalu membuatnya menungging tepat dihadapannya. Beberapa tamparan kencang ia berikan pada pantat yang sedang menungging di depannya, membuat badan laki-laki mungil di depannya bergetar. Rafa sering mendapatkan tamparan tapi yang ini rasanya berbeda, lebih nikmat. Menghantarkan gelenyar aneh pada tubuhnya, meminta jenan berbuat lebih gila dari ini.

“enak? enak ya ditampar gini sampe geter gitu badannya”

rafa hanya bisa menggeleng kecil saat tamparan itu malah semakin kencang, ia yakin pasti akan berbekas disana.

“hahaha masokis” tepat setelah itu, jenan mendadak jongkok, menyajarkan wajahnya dengan bongkahan padat yang baru saja ia tampar. “jangan ditahan, desah yang kenceng”

setelah mengatakan itu, jenan menjilati kedua pipi pantat rafa lalu berlanjut menjilati lubang yang akan menjadi tempat ternyaman untuk penisnya. Ia jilat rakus tanpa jijik sekalipun, sementara rafa sebisa mungkin menahan desahannya saat bagian sensitifnya itu akhirnya terjamah oleh jenan.

Lidah jenan beberapa kali menusuk lubangnya yang membuat rafa menegang. Laki-laki mungil itu menengadahkan wajahnya, ini terlalu enak dan rafa tidak bisa menahannya lagi.

“AHH! NYAHH.. JENAN, SEDOT TERUS.. AHH ENAK ENAK, ngh!”

jenan dibelakangnya tersenyum miring lalu melanjutkan kegiatannya membasahi lubang rafa dengan liurnya.

tubuh rafa mendadak hilang keseimbangan saat jenan selesai melakukan penetrasi pada lubangnya yang akhirnya basah itu untung jenan tanggap saat tubuhnya nyaris jatuh ke lantai kamar mandi.

“enak?”

rafa tidak menjawab tapi semburat merah di wajahnya menjawab dengan jelas.

“kontol gue lebih enak, mau?”

rafa masih terdiam, ia bingung ingin lanjut atau tidak mengingat tadi ia menjadi sedikit hilang akal mendesah cukup kencang di toilet kampus.

“ditanya itu jawab” tamparan keras menyapa pipi kanannya, cengkraman jenan mengencang pada kedua pipinya. Sangat kencang membuat rahang Rafa sedikit sakit.

rafa mengangguk kencang, tangannya

hii

Jaemin sekarang lagi ada di kostan pacarnya, lagi sibuk ngerjain revisian bareng katanya. Renjun, selaku pemilik kamar kost sekaligus pacar jaemin juga ikut menyibukkan diri dengan beberapa tugas matkul lainnya dan revisian skripsi. Intinya mereka bertemu di hari ini hanya untuk saling-menyibukkan-diri.

Hari ini cuaca sedang mendung-mendungnya, jemuran yang tadi ditaruh diluar pun sudah dimasukkan oleh semua pemiliknya, sudah pada meramal akan turun hujan yang lebat disertai badai, sih. Beruntung jaemin menjadi pacar yang tingkat kepekaannya tinggi, jadi sebelum kesini sempat mampir ke salah satu supermarket untuk membeli beberapa camilan, makanan dan juga minuman.

“akhirnya selesai!” renjun berucap sambil meregangkan ototnya yang kaku akibat duduk di depan laptop selama berjam-jam, sementara jaemin tidak berniat menanggapi karena masih sibuk disana. Renjun menyingkirkan semua barang-barangnya lalu merebahkan tubuhnya dikasur dengan handphone di tangannya untuk memeriksa beberapa sosial medianya.

“jaem, masih lama?”

“iya”

“okay deh”

Tidak ada jawaban lagi setelahnya, renjun tidak peduli juga karena jaemin kalau sedang serius melakukan sesuatu akan sangat marah jika diusik. Renjun ini sudah hafal semua tabiat orang ini; dari yang