“lo harusnya banyakin ngambil foto gue, ju” kata karel sambil mendengus sebal tapi juan tak mengindahkan, ia tetap melanjutkan memotret langit dan beberapa gedung yang terlihat disana.

“ogah, ngabisin memori gue aja” jawab juan ketus, karel makin sebal.

“ya... kalau gue udah gak ada, lo kan bisa ngeliat foto gue terus”

“apasih omongan lo ngaco!”

Seharusnya pada hari itu, juan tidak menganggap kalimat karel hanya sebagai candaan belaka.

Kini tubuhnya mendadak kaku, pikirannya terhenti, suara bising tak di dengarnya, dunianya berhenti berputar saat itu juga, air matanya berlomba turun dari pelupuk matanya.

Ia bahkan belum sempat mengabadikan ribuan paras indahnya yang dipujanya dalam diam.

“juan lo yang ikhlas, karel udah ga ngerasain sakit lagi..” begitu kata manusia disebelahnya, juan terdiam.

Perihal merelakan belum terpikirkan, karena ia baru saja kehilangan. Ia layak bersedih dan berduka, berteriak, meraung sesuka hati. Juan pandai menyembunyikan semua perasaannya sampai sekarang nyatanya ia terlambat untuk merasakan. Juan hancur.

Hari ini pusat dunianya sudah melebur bersama impiannya untuk bersamanya selamanya