Kalian pernah nggak merasa dunia memang tercipta bukan untuk kalian?

Memang terdengar sedikit aneh sih, hanya saja untuk sebagian manusia pasti ada kalanya pertanyaan yang sama terlintas di pikiran mereka.

Kok dunia rasanya nggak pernah, tuh, berpihak kepadaku?

Dunia memiliki inti pusatnya, ia berputar sebagaimana seharusnya ia bekerja. Pagi, siang, malam lalu panas, dingin, hujan, salju dan sebagainya. Ia berputar secara terus menerus tanpa henti, tanpa jeda, tanpa jam istirahat setiap 2 jam sekali itu, kerja tanpa menuntut bayaran karena kalau ia terhenti maka kehidupan di dalamnya juga akan terhenti. Memangnya, ada ya manusia yang bisa hidup tanpa rasa lelah seperti dunia?

ada saja, sih

Bangun di jam 2 pagi lalu bersiap-siap untuk berangkat kerja di jam 3 pagi karena harus ada tepat di tempat kerja di jam 4 pagi, menahan kantuk di jalan yang udara paginya seperti di Gunung Everest padahal hanya jalanan panjang Renon, menelusuri jalan yang sepi hanya beberapa minimarket 24 jam saja yang terlihat bersinar, berharap bukan setan yang aku lihat ketika melewati beberapa tempat gelap karena astaga, Tuhan... ini memang jam mereka beraktivitas dan aku dengan senonoh menganggu kehidupan mereka karena tuntutan konyol para atasan.

Aku tidak ingin mengeluh karena aku sangat butuh pekerjaan ini, hanya saja, rasanya gila harus bekerja sepagi ini untuk duit yang datangnya hanya untuk 2 hari itu.

Apakah rasa syukur itu memang nyata untuk orang-orang yang berjuang sepagi ini?

Tapi, ya, benar kata orang-orang tua itu. Lebih baik lelah mencari duit sedikit di tempat yang baik ketimbang mencari duit banyak sebagai pelacur. Aku tidak akan menghakimi segala bentuk pekerjaan orang, entah itu terlihat baik atau buruk, pada dasarnya kita semua sedang bertahan hidup, tidak peduli seperti apa usahanya karena semua orang hanya peduli akan hasil, benar kan?

Aku pun sama berdosanya seperti pelacur, hanya saja, tidak ada yang tahu bentuk dosaku itu seperti apa kecuali hanya Tuhan.

Oh, iya. Bagaimana soal pertanyaan kita di awal?

Seperti yang, aku katakan. Aku merasa memang hidupku hanya untuk hidup orang lain.