“itu bokap gue” kata sungchan dengan senyuman bangga.
Jisung memicingkan matanya melihat, wajah pria paruh baya itu sebenarnya sudah jelas tapi ia berusaha untuk memastikan kembali. Ternyata pandangannya benar, ia tidak buta tidak juga kelilipan, namun pria paruh baya yang sedang memakai jas mewah sambil tertawa itu adalah pria yang sama dengan orang yang membunuh masa kecilnya.
“bokap lo?”
“iya bokap gue, ayo sini jis”
“lo tau tahun berapa bokap sama nyokap lo nikah?” suara jisung memberat, sungchan bingung.
“gue ga yakin, tapi sekitar tahun 2005”
“2005?”
“hahaha iya, gue emang lahir duluan baru mereka nikah”
Iya tahun 2005, tahun tahun sialan yang membawa bundanya pergi. Tahun yang paling ia benci keberadaannya saat melihat ayahnya sendiri pergi dengan anak laki-laki lain digendongannya dan perempuan muda di rangkulannya. Meninggalkan dirinya yang masih kecil, tidak tahu menahu, ia hanya ingat bundanya merintih kesakitan dan mati. Bundanya pergi membawa pengkhianatan, orang yang paling ia sayang pergi dengan sia-sia.
Laki-laki brengsek, bajingan, sialan. Ia tertawa bahagia dengan penuh kekayaan, penuh kebahagiaan, penuh kesenangan. Tidak adil! Dan orang yang hampir setengah tahun ia hormati, laki-laki seumuran disampingnya ini adalah orang yang merebut segalanya.
semuanya sialan!
Gelas mahal di genggaman jisung jatuh, semua atensi mengarah padanya. Jisung tak tahan lagi, emosinya berada dipuncak apalagi saat ia dan pria paruh baya yang dulu sempat ia panggil ayah itu bersitatap.
“BAHAGIA YA LO BAJINGAN!” teriak jisung tak tau malu, lagian ayahnya itu perlu mendengar fakta.
Sungchan terkejut, semua orang terkejut, namun yang terlihat lebih terkejut adalah ayahnya. Wajahnya pucat pasi, pandangannya bergetar apalagi saat jisung mendekat.
“bagaimana kabarmu, ayah?” ucap jisung saat tubuhnya sudah berada di depan ayahnya. Pria paruh baya itu menatapnya gemetar, terlihat jelas air mata terkumpul di pelupuk matanya. Ia rindu anaknya
“jisung ... jisung ... park jisung?”
“bajingan! Bahagia hidup ayah sekarang? Setelah puas buat bunda pergi, setelah lo hancurin gue? Hidup lo penuh tipu daya sialan”
Kata sialan mampir selalu dari mulut jisung, semua diam enggan melerai. Apalagi saat melihat aura hitam yang dikeluarkan jisung, emosinya tidak bisa dikendalikan, semua orang enggan mendekat bisa-bisa mati dibuatnya.
“ternyata orang yang gue hormatin, yang gue kagumin, yang gue percaya adalah orang yang ngerebut kebahagiaan gue” kini pandangan jisung menajam ke arah sungchan, ia kecewa, sangat. Ia selalu bersumpah akan mencabik para perebut tak tau diri itu tapi mengingat siapa orangnya, hanya kecewa yang melingkupi dirinya.
Sungchan terdiam, ia tidak tau apa-apa. Sama sekali.
“gue pergi, gue keluar, gak sudi ada diantara para pembunuh dan perebut. Gue harap kalian bisa tertawa lagi setelah ngehancurin hidup orang lain”
Jisung keluar dari lobby itu, keluar juga dari pekerjaan itu, ia tidak ingin berada diantara para pengkhianat itu. Ia memendam kecewa yang teramat sangat, dadanya sesak, ia butuh alkohol untuk melupakan sejenak.
Setelah itu ia pulang, melanjutkan tangis di pelukan chenle. Ia akan pulang.