I love your fucking moaning.
Kale tidak bisa berhenti menahan senyumnya dari ia dijemput oleh juan lalu akhirnya sampai di tempat tujuan. Walau sedari tadi tanpa bicara sama sekali di perjalanan, kale tidak merasa sepi karena hati dan pikiran sudah ramai dipenuhi oleh juan, juan, juan
Memang sialan sekali! Eksistensi pria di depannya ini selalu berhasil membuat dadanya sesak karena berdebar, perutnya dipenuhi kupu-kupu sampai rasanya mual— bukan mual karena eneg tapi karena terlewat senang—
Segala hal tentang pria gitaris ini, tentang Juan Putra Permana dengan segala pesonanya bak pangeran yang selalu menjadi incaran setiap wanita atau bahkan pria sekalipun. Karena sumpah senyum yang tercetak di wajah juan itu adalah yang paling manis yang pernah kale lihat. Kepribadian pria itu juga menyenangkan, wajar saja menjadi topik hangat dikampus, apalagi soal bakat bermain gitar yang cukup handal, cukup pantas dibanggakan.
Juan itu manusia nyaris sempurna dimata kale, ya ... namanya juga budak cinta, segala sesuatunya pasti nampak istimewa. Biar cinta melahapnya mentah-mentah, kalau sudah patah mungkin lain kisah.
Kale dan juan sampai di depan gerbang studio musik band mereka, sang gitarist dan vokalistnya berjalan masuk ke ruangan kedap suara itu. Pandangan yang pertama kali mereka lihat adalah semuanya berantakan, mungkin karena terakhir kali kesini memang sedang gladi bersih untuk penampilan di salah satu sekolah di Jakarta.
Kale dan rasa bencinya dengan hal-hal yang tidak se jadi sibuk membersihkan seisi ruangan, sementara juan tidak peduli, karena yang ia pedulikan hanya rasa rindunya pada gitar kesayangannya.
Kale melengos, “bantu kek biar bersih ...” katanya dengan penekanan seperti menyindir, juan hanya tertawa kecil lalu melanjutkan kegiatannya —mengatur senar gitarnya.
Akhirnya kegiatan kale selesai, studio musik tampak terlihat lebih bersih dari sebelumnya. Kale tersenyum puas dan suara tepukan tangan terdengar keras untuknya, itu dari juan.
“widih jadi bersih” katanya, kale hanya mendengus sebal tanpa menjawab lalu beralih duduk di sofa samping juan. Keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing, kale dengan lirik lagu yang akan dinyanyikannya sementara juan dengan gitarnya.
Memang ya, kalau sudah suka dengan seseorang, apapun hal yang ada pada dirinya itu menarik. Bahkan juan yang hanya mengatur senarnya sedari tadi menarik atensi si manis untuk menoleh.
“gue dari dulu pengen bisa main gitar” kata kale, pandangnya tak lepas dari gerak tangan juan. Sang gitarist menoleh sebentar lalu di detik berikutnya malah tertawa kecil.
“belajar lah”
“udah kok, tapi susah, apa karena faktor tangan sama jari gue yang kecil ya?” kale melihat tangannya sendiri, dibanding juan, tangannya memang kecil. “kalau tangan lo gede terus jarinya juga panjang sama berurat jadinya kuat, pasti enak“
Di kalimat terakhir kale, juan sontak menoleh lalu tertawa besar. Si manis itu hanya menatapnya heran lalu selanjutnya semburat merah melingkupi seluruh wajahnya. Ngomong apasih?!
“m-maksudnya enak main gitarnya bangsat, bukan yang itu ...” ucap kale, ia mengalihkan pandangannya ke kertas dengan lirik lagu, enggan melihat juan yang masih menertawakannya.
Kale pun tidak sadar kalau juan sudah berjalan menuju pintu, awalnya ia pikir juan akan keluar—salah— juan mengunci pintunya.
“kok dikunci?”
“sstt... gue denger suara di depan” juan menaruh telunjuk kanannya di depan bibirnya, mengisyaratkan kale untuk tidak berisik.
“hah? Itu mungkin rendy sama yang lain”
“bukan kale, kalau anak-anak pasti berisik”
Kale terdiam sebentar sementara juan berjalan mendekat. Tubuh besar itu sudah ada dihadapannya, kale mendongak dan menatapnya heran.
“apa?”
Juan tidak menjawab. Matanya berubah menajam, juan yang biasanya suka menebar senyum sana-sini, kali ini menatapnya dengan seringaian.
Jari jempol juan mengusap pelan bibir kale, sementara sang vocalist hanya terdiam kaku tanpa melepas pandangannya pada wajah juan.
Seperti terhipnotis, kale membuka mulutnya saat jempol itu menarik pelan bibir bawahnya, lagi-lagi juan melebarkan senyumannya.
“have you ever kissed before?” tanya juan, suaranya memberat, binar matanya terlihat walau sejujurnya manik itu menajam.
Kale terdiam, ia bingung ingin menjawab apa. Matanya masih terkunci pada juan. Saat jempol itu menekan bibirnya agak keras, kale tersadar. sadar akan sesuatu
“b-belum... juan”
“lo bilang kalau jari panjang itu enak, right?” kini jempol itu masuk ke dalam mulut kale tanpa permisi, bermain dengan lidah sang vocalist. Juan tersenyum puas saat mata kale menyanyu menikmati permainan jarinya. “tangan gue besar, berurat, have you ever imagine about my finger in your hole? Thats must be so good, right?“
fuck, maksud kale bukan ini