Chaos.
suasana kamar rumah sakit yg ditempati chenle saat ini cukup sunyi padahal ada dua orang disana, chenle dan jisung. Lampu sengaja dimatikan hanya sekedar sinar rembulan yg mengintip dibalik jendela.
Dokter yg usul untuk membiarkan omega ini beristirahat dulu semalaman di rumah sakit, karena kondisinya yg melemah. Jisung disana duduk disamping kasur chenle, tangannya tak melepas genggaman chenle untuk menumpu kepalanya yg berat.
Tidak ada yg ingin memulai pembicaraan, masing-masing dari mereka memilih bungkam dengan keadaan kacau. Jisung dengan wajah lelah dan rambut berantakannya sementara chenle wajah sembab karena seharian ini menangis.
Mereka kacau, jauh dari kata baik.
Chenle menghembuskan nafasnya pelan, ia lihat alphanya yg masih menggenggam tangannya dan menumpu kepalanya disana, alphanya juga lebih kacau dengan maniknya yg masih mengeluarkan air mata dan rambut yg berantakan. Tapi, ia mencoba tidak peduli mengingat patah hati yg ia rasakan sebelumnya.
“lepasin tangan gue” ucap chenle tapi jisung malah menggeleng pelan
“gak” kata si alpha dengan keras kepala, chenle sebenarnya tidak ingin banyak nangis tapi sialannya ia selalu benci saat takdir memperlihatkan kekacauan akibat kesalahan mereka berdua
pantas disesali tapi orang lain bilang jangan lama-lama disesali
“gue bakalan pergi ke rumah orangtua gue, dan lo ga perlu lagi ngerasa terbebani gara-gara gue”
“gak boleh...” suara jisung gemetar seperti ingin menangis lagi, chenle menatapnya heran pasalnya baru pertama kali ia tau sisi lemah seorang alpha
Ya, alpha juga seorang manusia sih.
“lo bebas buat sama siapa aja yg lo mau”
“gue maunya lo”
Semua pernyataannya dijawab cepat tanpa ragu oleh jisung walaupun suaranya sedikit gemetar, jisung beralih menatap omeganya yg juga menatapnya namun sorot matanya menandakan benci yg terlihat jelas walaupun di dalam keadaan gelap.
“lo brengsek, gue lebih milih mati asal enggak hidup bareng penghianat” kata chenle penuh penekanan pada setiap kata, aura hitamnya terpancar disekitar ruangan berhasil membuat alpha itu tercekik rasa bersalah. Jisung hanya menggeleng pelan, genggamannya mengerat.
“lo salah paham, le”
“apalagi? gue enggak buta buat ngelihat lo meluk cewek lain tadi sore”
“iya... iya gue akuin itu gue, tapi tolong dengerin sampe akhir penjelasan gue”
“enggak butuh—”
“demi jiel”
Chenle terdiam, matanya menyendu, keras kepalanya luluh. Jisung memanfaatkan keadaan itu untuk memulai menjelaskan kronologi kejadian dari A sampai Z, tidak terlewat tidak juga dikurang-lebihkan, tak lupa juga memberi beberapa bukti untuk menguatkan semua ceritanya.
Chenle tak melepas pandang dari alphanya yg bercerita heboh, memberikan banyak bukti, mengucap banyak maaf dan senang atas jiel, ia ungkap juga rasa lelah dan penat menghadapi masalah yg akhir-akhir ini membuatnya frustasi.
jisung hanya belum siap bertanggung jawab di usia mudanya, tapi langkahnya waktu itu memang salah dan ia pun juga sudah berucap janji akan menerima.
“chenle, gue...gue minta maaf, maaf, maaf”
Tangannya tak dilepas oleh jisung tapi chenle melepasnya paksa, ia menatap alphanya itu sebentar sebelum merentangkan tangan mempersilahkan jisung untuk masuk dalam dekapannya.
Lagi, lagi dan lagi tangisnya pecah, ia memeluk badan chenle erat sementara surainya diusap lembut oleh chenle. Berkali-kali tak bosan ia ucap banyak maaf untuk patah hati, kekacauan dan waktu yg cukup lama
Untuk semua rasa sakit, ia akan obati sepenuhnya.
“gue enggak mau maksa lo buat jatuh cinta sama gue lagi” chenle menyerah, entah bagaimana nanti, terserah. Ia sudah lelah berusaha melakukan pendekatan selama sebulan penuh, tapi tidak membuahkan hasil apapun. Untuk perasaannya yg selalu diabaikan, untuk semua pertanyaan yg selalu dijawab belum, chenle berserah
Memang sebaiknya perasaan tidak ikut andil, biar mereka simpan masing-masing untuk dinikmati. Bahkan, tanpa cinta pun mereka sudah seharusnya bersama kan?
“tanpa lo suruh, gue bakalan coba buat buka hati setelah sembuh” ucap si alpha yakin.
dan, chenle lupa kalau jisung pandai menuai harapan