Patah dan hati

Jisung menutup pintu rumahnya pelan, senyum sedari tadi tak luntur dari wajahnya, matanya menyipit menandakan bahwa ia sangat senang saat membaca chat dari chenle tadi. Kaki panjangnya dihentakan beberapa kali di teras rumahnya, wajahnya ia tutup dengan jemari panjangnya, senyum masih bisa mengintip dari sana.

Ia betulan gemas. Apa katanya tadi? Papa

Sepertinya ia akan mendapatkan traktiran serta gaji yang bertambah dari si bos karena perasaannya hari ini sedang bagus-bagusnya, ia yakin presentasinya akan menarik clien nantinya.


Bisakah manusia hidup dengan rasa takut?

Pertanyaan itu terus-menerus berputar di kepala jisung. Dari ia mulai masuk sebagai anak murid kelas satu sampai ia bekerja disebuah perusahaan besar saat ini pertanyaan itu tidak terjawab atau mungkin belum? Jisung belum menemukan jawaban itu dalam benaknya.

Jisung dan trauma masa lalunya, jisung dan semua hal yang terjadi dalam hidupnya adalah apa yang manusia itu benci. Ia membenci bagaimana hidup dan takdirnya tertulis. Alpha itu benci mengetahui ia masih bernafas keesokan harinya. Setiap hari. Setiap waktu. Setiap saat ia berharap kalau esok biar tiada saja, agar beban di bahunya meringan, namun tetap saja hari esok sama berjalannya seperti hari-hari biasanya.

Setiap hari menjadi hari yang sama menyakitkannya.

Usianya masih lima tahun saat melihat bundanya terdiam, memejam dalam senyum. Tubuh wanita paruh baya itu mendadak kaku. Omega itu mati membawa patah. Umurnya masih terlalu kecil untuk mengetahui bahwa bunda yang satu-satunya ia miliki ternyata telah tiada setelah dua minggu mengetahui sang ayah pergi dengan perempuan lain, Pengkhianat itu membunuh bundanya. Jisung kecil hanya bisa meringkuk di lantai, menangis, berteriak berusaha menggapai telepon untuk menelpon pamannya.

Hari itu, bundanya dinyatakan meninggal. Salah satu hari paling menyakitkan yang pernah jisung hadapi. Usianya masih lima tahun saat mengetahui bahwa selanjutnya akan menjadi hari-hari beratnya tanpa bunda, tanpa ayah, tanpa siapa-siapa. Jisung menanam ribuan pedih di hatinya yang patah di pemakaman.

Terkadang jisung bertanya, mengapa di dunia ini status paling rendah dan lemah harus bundanya yang mendapatkan? Bunda itu orang baik, lemah lembut dan semua orang menyayanginya kecuali ayahnya. Memang benar katanya, seharusnya malaikat tidak bisa ada di bumi terlalu lama, terlalu menyakitkan untuk bundanya.

Di hari kepergian laki-laki itu, jisung menangis dan berteriak, memohon belas kasian untuk bundanya yang terus menerus memanggil alphanya yang mengabaikannya dan memilih pergi dengan perempuan lain. Jisung menarik tangan ayahnya namun yang ia dapatkan hanya dorongan kasar dari sang ayah. Membiarkan luka menggores hati anak laki-laki usia 5 tahun, kalimat bengis ia katakan pada anaknya untuk terakhir kalinya, “jangan pernah cari saya” dan kalimat itu terus menerus membekas di ingatan jisung, menjadi luka yang tak akan pernah sembuh sampai kapanpun.

Semenjak hari itu ayahnya sama sekali tidak kembali, entah sekedar menyapa, menjenguk atau mendatangi pemakaman bundanya. Padahal jisung berharap, anak kecil itu berharap dijemput ayahnya. Namun ternyata omongan itu bukanlah omong kosong belaka.

Setelah hari kematian bundanya, ia memilih untuk tinggal dengan keluarga pamannya. Bertahun-tahun jisung tinggal disana dengan kasih sayang yang tidak dibedakan dengan sepupunya, ada bang jaemin dan bang jeno. Mereka baik, hidupnya bahagia, mereka diberkahi banyak keberuntungan dalam hidup, mereka tidak kesepian, mereka itu adalah yang benar dikatakan banyak orang “sebuah anugerah”, sementara dirinya hanya “pembawa sial”. Kadang jisung menaruh banyak iri pada kehidupan sempurna dua kakaknya itu, mengapa bisa dua manusia itu dari lahir sudah hidup membawa jutaan keberuntungan berbanding terbalik dengannya. Mengapa semesta selalu berpihak pada orang-orang dengan hidup yang sempurna? Sementara yang menderita tetap menderita, padahal jisung sudah berusaha keras namun tetap saja sama.

Sampai akhirnya, ia mengenal satu gadis di sekolahnya. Gadis dengan perawakan unik dan manis, gadis itu senyumnya seindah langit senja, gadis yang yang memiliki kepribadian ceria dan selalu cerah seperti matahari, gadis dengan status beta tersemat di dirinya. Jisung jatuh hati untuk pertama kalinya. Semua kata-kata gadis itu benar membangkitkan semangat hidupnya, ia punya alasan untuk hidup hari ini, hari esok, lusa, atau kapanpun itu selagi ia yakin akan terus bersamanya.

Nila namanya. Teman yang akhirnya menjadi kekasih yang paling ia cintai sejagat raya semesta. Jisung benar-benar mencintai gadis itu. Tanpa tapi maupun kecuali.

Nila tau semua tentang dirinya, lukanya dan dukanya selama bertahun-tahun, namun ia sama sekali tidak pernah pergi. Salah satu kalimat nila yang selalu membekas di benaknya adalah; “kamu itu berharga walaupun banyak kekurangan, tapi sama berkilaunya seperti yang sempurna. Jangan menaruh iri terlalu banyak nanti susah bahagia... Jadi kamu saja sudah lebih baik!”

Kata-kata yang manis. Jisung menulisnya dikertas paling bagus lalu memajangnya dengan bingkai foto dan menaruhnya disamping tempat tidur, agar besoknya paginya ia punya alasan untuk bangun, untuk bernafas dan untuk menjalani hari-harinya.

Jisung pernah sejatuh cinta itu dengan manusia. Jisung pernah sebahagia itu setelah mengalami rasa sakit.

Namun ternyata tak lama bahagia itu, saat ia mengetahui bahwa nila berkhianat dengan alpha lain. Di depan matanya sendiri, saat tangannya menggenggam sekotak bekal untuk nila, tepat dibelakang sekolah nila berciuman dengan alpha lain. Hahaha sial

Jisung patah kembali, hatinya hancur kembali. Traumanya bertambah lagi. Harapan hidupnya kandas tak bersisa, semenjak hari itu hati jisung mati. Tak akan pernah ia lagi mengenal cinta apalagi merasakan rasa sialan itu, tak akan lagi ia bentuk rasa sakit itu. Cukup menyiksanya selama bertahun-tahun.

“Bisakah manusia hidup dengan rasa takut?”

Jisung buang semua benda-benda milik nila sekaligus alasannya untuk hidup kemarin. Jisung tertawa saat barang-barang itu hangus di depannya, ia menertawakan nasibnya, takdirnya serta hidupnya. Menangis sudah membuatnya lelah setiap harinya. Semakin dewasa semakin ia takut untuk sekedar bernafas, ia tidak bisa percaya siapapun di dunia yang brengsek ini. Berkali-kali realita membunuhnya.

Jisung menyimpan banyak trauma dalam hidupnya. Alpha itu menyakiti dirinya berkali-kali agar sesak di dadanya dan pikirannya bisa sejenak diam. Berkali-kali juga terlintas pikiran menyusul bundanya kalau saja jaemin tidak menolongnya saat itu.

Ia jiwa mati yang ada di tubuh yang hidup.

Saat ia mulai merasa, saat ia yakin akan bahagia maka saat itu juga ia akan kehilangan. Jisung takut memulai karena tau akhirnya akan tidak sesuai apa yang diinginkan. Laki-laki itu takut menerima perasaannya sendiri, ia takut kehilangan sekali lagi.

Sampai seorang omega datang ke kehidupannya, menarik kembali semua masa lalunya yang datang serempak. Traumanya datang kembali. Semua orang menyalahkannya atas kejadian yang bahkan bukan cuman salahnya. Omega itu yang datang disaat jisung diyakinkan bahwa pesta itu benar-benar nihil omega. Chenle yang memaksa. Omega itu yang menghancurkan dirinya sendiri tapi mencari objek yang dominan untuk disalahkan, ya itu adalah dirinya.

Setelah hari itu, jisung harus menjalani hari-harinya yang berat menjadi lebih berat karena harus melaksanakan tanggung jawabnya yang ini— bersama chenle.

Berbulan-bulan akhirnya memilih tinggal bersama karena sulit untuk berjauhan, dan perasaan chenle mulai tumbuh dengannya. Berkali-kali omega itu selalu berkata “gue sayang sama lo ji” ya, terdengar biasa saja tapi selalu membekas diingatannya. Selalu.Walaupun berkali-kali ia buang kata-kata itu tetap saja tidak ingin hilang di pikirannya.

Chenle pribadi yang kuat walaupun ia adalah seorang omega, chenle manis apalagi kalau sedang tersenyum, seorang omega yang selalu merasa dominan dan jisung cukup salut dengan omega yang satu ini. Ia tidak pernah ingin dianggap lemah walaupun pada dasarnya sifat omega menetap di dirinya. Namun saat perasaannya terucap, berkali-kali juga jisung berusaha tidak peduli atau bahkan membuang semua harapan itu. Ia terlalu takut menerima perasaan itu lagi, ia terlalu takut jatuh cinta. Jisung mengetahui semuanya, diam diam juga memikirkan itu.

Tentang perasaan chenle sekaligus perasaannya. Jisung takut kalau sampai semua tau tentang perasaannya maka saat itu ia akan menerima kehilangan lagi. Jisung hanya mempunyai chenle dalam hidupnya sekarang, untuk sekedar alasannya bangun setiap harinya. Ia akan relakan perasaannya agar semesta tidak mencuri apa satu-satunya yang ia miliki lagi.

Walau nyatanya memang perasaannya lebih besar dari egonya tapi berusaha sebisa mungkin ia sembunyikan dalam gelap sekalipun, agar semesta tidak ikut campur dan malah mengambilnya lagi.

Jisung menyayangi chenle sebagaimana chenle berucap tentang itu setiap hari untuknya namun bedanya jisung takut mengambil langkah karena patah hati sebelumnya. Maka, ia biarkan rasanya tumbuh walaupun tidak ada seseorang pun harus tau.